KUPANG, KOMPAS.com - Terik mentari terasa panas, meski baru pukul 08.00 Wita. Angin bertiup kencang menerbangkan dedaunan kering berwarna cokelat. Saya keluar dari rumah mertua yang berada di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Oeba, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (18/9/2023).
Tujuan saya mencoba kekuatan sinyal kartu Im3 dan 3 milik Indosat yang merupakan operator jaringan seluler di Indonesia. Sejumlah rute perjalan pun sudah tercatat.
Rutenya cukup jauh, mengelilingi wilayah Pulau Timor Barat, yang meliputi Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu, yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Jarak tempuhnya hingga ratusan kilometer.
Dua kartu berukuran mungil sudah terpasang pada gawai pintar buatan China milik saya. Rute pertama masih di seputar Kota Kupang.
Mengendarai mobil Low Cost Green Car (LCGC) pabrikan Jepang beroda kecil, saya mulai bergerak menuju rumah di Perumahan Sahabat Permai, Kelurahan Naioni, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Dari Kelurahan Oeba, jaraknya sekitar 9,3 kilometer di bagian selatan.
Saya memilih rute pertama di Naioni, karena pengalaman menggunakan kartu dari salah satu provider ternama di Tanah Air selama belasan tahun, susah untuk mengakses telepon, apalagi internet saat berada di dalam rumah. Padahal areanya masih di dalam Kota Kupang.
Yang tertera di layar gawai pintar, kecepatan internet dengan sinyal bar simbol G, E dan H. Ketiganya muncul bergantian, tergantung posisi kita dalam rumah.
Untuk bisa mengakses internet dan telepon, saya harus nekat naik ke atap rumah. Tentunya itu berisiko besar terpeleset, bahkan digigit serangga atau ular. Maklum, rumah saya berada dekat hutan.
Kondisi saat ini berbeda ketika dua kartu Indosat itu menancap erat. Sinyal 4G penuh. Saya bebas berselancar internet di dalam maupun luar rumah dengan nyaman. Tentunya juga harus ada paket data.
Beruntung, saya masih punya cadangan yang memadai. Kartu 3 masih ada 25 Gigabita (GB) dan IM3 masih tersisa 12,5 GB. Cukuplah untuk nonton YouTube berhari-hari.
Dari Naioni, saya mulai bergerak ke arah timur, Kabupaten Kupang melewati Jalur 40, Jembatan Petuk, Penfui hingga kilometer 12 Kelurahan Lasiana.
Kondisi jalan beraspal sepanjang Kota Kupang menuju Kabupaten Kupang, semulus akses internet dan telepon milik Indosat itu.
Saya masih penasaran di sejumlah lokasi di Jalan Trans Timor dari Kupang, menuju Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara hingga Belu, yang selama ini masuk area blank spot alias tak ada akses sinyal telekomunikasi.
Titik yang masuk dalam zona blank spot masih saya hafal persis letaknya. Karena pengalaman menggunakan provider lama, pada titik-titik tersebut sinyal tiba-tiba hilang, selama ratusan kali saya bepergian dari Kupang melintasi empat kabupaten itu.
Tibalah saya di kilometer 51 persis di pertigaan jalan masuk ke Desa Ekateta, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, sinyal yang tadinya penuh, langsung anjlok hingga tersisa satu bar. Meski begitu, masih bisa akses internet.
"Di sekitar daerah sini, memang sinyalnya hilang muncul. Kami kesulitan menelepon apalagi buka internet," kata Yanus Fallo, tukang ojek pangkalan, saat saya temui di pertigaan jalan masuk Desa Ekateta.
Yanus berharap, operator seluler bisa memperkuat kekuatan sinyal, sehingga bisa dinikmati warga.
Setelah berbincang sejenak dengan Yanus, saya melanjutkan perjalanan hingga 200 meter, dan sinyal kembali muncul dengan kekuatan penuh, persis di belokan tajam menuju Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang.
Kekuatan sinyal yang perkasa, lambat laun mulai menurun saat mendekati lokasi Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Sisimeni Sanam di Desa Oesusu, Kecamatan Takari.
Pada kilometer 61 sinyal pun hilang total. Saya mencoba memasang kartu dua operator seluler lainnya ke dalam ponsel, tetapi tetap saja sinyal tak kunjung muncul. Sepanjang 300 meter menuju ibu kota Kecamatan Takari, sinyal lumpuh tak berdaya.
Karena sinyal empat operator telekomunikasi tak bisa diakses, saya kembali memasang dua nomor milik Indosat dan terus melanjutkan perjalan hingga memasuki wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam perjalanan itu, sinyal kembali menguat.
Namun, memasuki kilometer 80 atau tepatnya di Kampung Eno Ana, Desa Oebobo, Kecamatan Batu Putih, Timor Tengah Selatan, lagi-lagi kejadian di kilometer 61 terulang. Tapi kali ini berbeda, karena area blank spot panjang. Lebih dari satu kilometer.
Jaringan sinyal kembali berangsur normal, setelah keluar dari tikungan kiri menuju Desa Boentuka, dan Desa Benlutu, Kecamatan Batu Putih.
Sinyal sempat hilang muncul di kilometer 90 atau 20 kilometer dari Kota Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tetapi, internet masih bisa diakses meski sedikit tersendat.
Tiba di Soe, saya pun mencari warung untuk sekadar mengisi perut yang mulai keroncongan. Termasuk, mengisi daya baterai. Namun, tidak dengan kekuatan sinyal yang terlihat kokoh.
Di kabupaten dengan wilayah ketiga paling luas di NTT (3.947 kilometer persegi), saya tak hanya berkutat melintasi jalan negara Trans Timor yang mulus, juga menjelajahi pedalaman, persisnya di Kampung Boti.
Boti merupakan desa terakhir di Timor yang masih mempertahankan adat dan tata cara kehidupan sesuai tradisi nenek moyang mereka dengan sangat ketat.
Letaknya yang berada di pegunungan membuat desa ini sulit dicapai sehingga tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman.
Dari Kota Soe, mobil bergerak ke arah timur sejauh 27 kilometer. Di pertigaan pasar Niki-Niki, saya memilih belok kanan ke arah Oinlasi, Kecamatan Amanatun Selatan. Sedangkan lajur kiri merupakan jalan negara menuju Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Belu, hingga negara Timor Leste.
Rute yang melintasi jalur Oinlasi, tak semulus jalan sebelumnya. Kondisi ruas jalan beraspal itu rusak sepanjang jalan.
Setelah berkendara sejauh 15 kilometer, atau tepat di pertigaan Desa Tumu, Kecamatan Amanuban Tengah, mobil berhenti. Sebelah kiri ke Oinlasi, ibu kota Kecamatan Amanatun Selatan dan sebelah kanan ke Boti, Kecamatan Kie.
Beberapa warga menyarankan agar menyewa sepeda motor, karena jalannya tidak cocok dengan mobil beroda kecil.
Saya lalu menyewa sepeda motor milik tukang ojek pangkalan dengan tarif Rp 100.000 milik. Mobil yang saya gunakan diparkir di depan kios sembako milik warga setempat.
Benar saja, jalan masuk ke Boti rusak berat. Hanya beberapa titik saja yang beraspal dan itu pun sebagian besar sudah rusak. Selebihnya, hanya jalan tanah bebatuan.
Tidak mudah untuk menaklukkan jalan sejauh 10 kilometer masuk ke Kampung Boti. Medan yang terjal, dengan tanjakan dan turunan yang tajam penuh bebatuan dan tanah berlubang, membuat sepeda motor Honda Revo Fit keluaran tahun 2022 yang saya kendarai, tak pernah berhenti meraung lantaran gigi atau persneling hanya berkutat di angka satu.
Jalanan berupa tanah keras ataupun makadam, turun-naik, melewati perkampungan, hutan atau ladang warga, lembah, deretan perbukitan, bahkan harus menyeberangi sungai dangkal yang kering
Beberapa kali saya terperosok dan tergelincir, karena tanah bercampur pasir dan batu berserakan di badan jalan. Namun, perjuangan ke Boti pun terbayar dengan suguhan pemandangan alam perbukitan indah nan hijau.
Untung sinyal ponsel IM3 dan 3, masih tetap kokoh, karena sepanjang perjalanan saya berada di ketinggian.
Tetapi, dua kilometer memasuki Perkampungan Boti, sinyal milik Indosat itu hilang. Praktis tak bisa digunakan.
Meski tanpa sinyal, saya tetap melanjutkan perjalanan bertemu Raja Boti Namah Benu dan mengeksplor kegiatan suku yang masih menganut kepercayaan animisme itu.
Matahari bersinar persis di atas ubun-ubun, saya meminta izin kepada sang raja kembali melanjutkan perjalan ke daerah berikutnya, dengan rute pulang yang sama.
Usai mengembalikan sepeda motor sewaan, saya kembali masuk ke dalam kabin setir bulat, bergerak menuju Kabupaten Timor Tengah Utara yang masih berjarak sekitar 60 kilometer lebih.
Persis di kilometer 153 hingga 157 dari Kupang, atau tepatnya di antara perbatasan Kecamatan Amanatun Utara dengan Kecamatan Oenino, Timor Tengah Selatan, sinyal seketika lenyap.
Kondisi berbeda ketika memasuki wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara. Mulai dari Kecamatan Noemuti Timur, Kecamatan Noemuti hingga Kecamatan Kota Kefamenanu, sinyal kuat Indosat bertengger mulus tanpa lecet.
Karena hari mulai gelap, saya memilih menginap di salah satu hotel kelas melati di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berjarak 196 kilometer dari Kota Kupang.
Keesokan harinya, saya bangun lebih awal sebelum mentari menampakan bias cahayanya dari ufuk timur.
Udara dingin yang menusuk tulang, tak menyurutkan semangat saya untuk menjelajahi lagi beberapa tempat di Kabupaten Timor Tengah Utara, pagi itu.
Selepas sarapan pagi dan menyeruput segelas kopi, saya menghidupkan mobil dan bergerak menuju Kabupaten Belu melintasi jalan negara Trans Timor. Khusus wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara, hanya ada satu area blank spot, yakni di kilometer 208 jurusan Atambua. Selebihnya sinyal tetap stabil.
Saat dalam perjalanan atau tepatnya di Kiupukan (kilometer 223), ibu kota Kecamatan Insana, Timor Tengah Utara, saya mencoba ke bagian selatan, tepatnya di Desa Loeram, yang berada di pedalaman dengan jarak 10 kilometer dari jalan Trans Timor. Meski dengan kondisi jalan bebatuan cadas, sinyal tetap kuat, walau sempat turun hingga tersisa satu bar. Akses internet masih lancar.
Untuk membuktikan ketangguhan sinyal Indosat, saya kembali ke jalan sebelumnya, dan berputar ke arah utara menuju ke Manufui, Desa Supun, Kecamatan Biboki Selatan, Timor Tengah Utara, sejauh 16 kilometer. Di daerah itu, masih ada sedikit sinyal. Tetapi memasuki desa tetangga Tokbesi, sinyal tiba-tiba hilang. Padahal, Desa Tokbesi, Kecamatan Biboki Selatan, berada di daerah ketinggian.
Setelah puas menjelajahi Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berbatasan dengan Distrik Oekusi, negara Timor Leste, saya melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Belu, yang merupakan titik terakhir.
Harus diakui, sepanjang jalan menuju Atambua (kilometer 275), ibu kota Kabupaten Belu, kondisi sinyal tanpa cacat. Berselancar internet dan telepon mulus, semulus jalan rayanya.
Memasuki Kota Atambua, hari mulai sore. Saya beristirahat sejenak dan bersua dengan beberapa sahabat wartawan yang bertugas di wilayah perbatasan.
Misi saya belum berakhir, karena harus ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, yang berada di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, untuk kembali menguji ketangguhan sinyal Indosat. Jarak dari Kota Atambua, sekitar 25 kilometer.
Karena menjadi etalase atau wajah Indonesia di mata dunia, jalan menuju Motaain sangat mulus dan dibuat lebar. Begitu juga dengan sinyal. tetap kokoh mulai dari Atambua hingga ke PLBN Motaain.
Sampai di beranda Indonesia itu, saya sempat mengabadikan momen di beberapa titik di Motaain, sembari menggunggah hasil foto ke media sosial.
Matahari semakin condong ke barat, semburat sinarnya menyoroti sisi kanan mobil yang saya kendarai, memunculkan siluet indah di sore itu.
Saya pulang melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Kupang, dengan sebuah harapan agar akses internet dan telepon di perbatasan dengan Negara Timor Leste, selalu stabil sehingga bisa dinikmati warga.
Sebelum pulang, saya sempat minta pendapat Bupati Belu Agustinus Taolin, mengenai kondisi sinyal Indosat di wilayahnya.
"Yang pasti, jika bermanfaat buat masyarakat tentu itu baik. Apalagi kalau bisa memperkuat dan memperluas jaringan di daerah perifer (daerah di tepi, jauh dari pusat) kita menyambut baik dan sangat mendukung," kata Agustinus.
Secara terpisah, SVP Head of Network Deployment Indosat Ooredoo Hutchison Deden Ramdhani Matchi, mengatakan, Indosat terus melahirkan inovasi cerdas dan memberikan kemudahan bagi pengguna jaringan telekomunikasi wilayah Nusa Tenggara.
Khusus di wilayah Nusa Tenggara Timur, kata Deden, pengembangan jaringan Indosat sudah mencapai 86 persen.
Sementara di Kota Kupang telah mencapai 100 persen. Artinya hampir seluruh wilayah di NTT sudah tercover jaringan Indosat.
“Pengembangan jaringan Indosat sudah menjangkau 80 persen wilayah Nusra, dan di NTT sudah sampai 86 persen. Untuk Kupang hampir 100 persen. Coverage harian sekarang sudah mencapai 1.000 kilometer square. Sedangkan daerah Timor, tahun lalu 128 site, sekarang kita tambah lagi menjadi 312 BTS,” ujar Deden.
Deden menambahkan, Indosat sangat antusias untuk melayani masyarakat NTT, dengan menyediakan jaringan yang andal, dan terus diperluas ke seluruh wilayah.
Dengan demikian, masyarakat terutama generasi muda lebih mudah dalam melakukan streaming dan gaming dengan lancar.
Deden berharap, masyarakat NTT bisa merasakan adanya pengembangan jaringan dan cepatnya sinyal saat berinteraksi di dunia digital.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya