Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Suntoro
Peneliti BRIN

Penulis adalah Koordinator Kelompok Riset Hukum Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Transisi Energi, Menagih Janji Negara Maju dan Memperkuat Aliansi Baru

Kompas.com - 14/11/2023, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA bulan ke belakang, masyarakat semakin menderita dengan persoalan iklim ditandai dengan penurunan kualitas udara dan cuaca panas ekstrem, khususnya di seputaran wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Bahkan untuk waktu yang cukup lama, kedudukan Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan kualitas terburuk nomor satu di dunia yang didasarkan pada hasil pemantauan kualitas udara IQair dengan angka 170 atau masuk dalam ketegori tidak sehat dengan polusi udara mencapai PM 2.5.

Diskursus penyebab buruknya kualitas udara mulai dari emisi kendaraan berbahan bakar fosil, residu atau buangan dari kawasan industri dan paling mengkhawatirkan dampak dari penggunaan batu bara untuk menggerakan sejumlah pembangkit listrik.

Perspektif kebijakan

Kesadaran atas pengendalian iklim dan menekan efek gas rumah kaca untuk menghasilkan kualitas lingkungan yang sehat telah menjadi komitmen kenegaraan Indonesia.

Pada 2016, Indonesia meratifikasi Paris Agreement to The United Nation Framework Convention on Climate Change dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Regulasi ini menjadi kerangka dasar dan landasan yuridis dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia.

Secara makro terbitnya regulasi ini adalah perwujudkan konstitusional Indonesia yang bertujuan menjamin pemenuhan hak untuk hidup dan kualitas lingkungan yang baik dan sehat melalui pengendalian dampak perubahan iklim.

Persetujuan Paris merupakan perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang bertujuan menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-industrialisasi.

Persetujuan Paris bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua negara (legally binding and applicable to all) dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilites and respectiue capabilities).

Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut memberikan tanggung jawab kepada Negara maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasitas, dan alih teknologi kepada negara berkembang.

Keterlibatan Indonesia dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim salah satunya didasarkan pada fakta kontribusi sebagai penyumbang gas rumah kaca.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral produksi gas rumah kaca pada 2019 mencapai 638.452 Gg CO2e.

Kategori penyumbang emisi terbesar secara berturut-turut antara lain produsen energi yang terutama adalah pembangkit listrik batu bara sebesar 43,83 persen, transportasi 24,64 persen, industri manufaktur dan konstruksi 21,46 persen, serta sektor lainnya mencapai 4,13 persen.

Secara praktis kampanye adaptasi dan mitigasi dalam perubahan iklim dipresentasikan oleh Indonesia pada pelaksanaan the 27th Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP27) Egyptian 2022.

Melalui kebijakan nasional pengurangan emisi gas rumah kaca dalam Enhanced National Determined Contribution (NDC) tahun 2030 menjadi 358 Juta ton CO2e atau 31,89 persen dengan kemampuan sendiri, serta capaian target 43,20 persen dengan dukungan atau bantuan komunitas internasional.

Target ambisius adalah tahun 2060 tercipta Net Zero Emission (NZE) 0 persen gas rumah kaca.

Inisiatif untuk mencapai target tersebut antara lain pembangunan sarana pembangkit tenaga surya apung (PLTS) di Bali yang dipresentasikan kepada kepala negara di G20 dengan kapasitas 100 kilowatt peak (kWp).

Terbesar adalah PLTS Terapung Cirata yang terbesar di ASEAN dengan kapasaitas 192 Mega Watt Peak (WMp) yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 9 November 2023.

Progam lain untuk pengendalian adalah melalui kebijakan energi oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dalam program kerja 2021-2030 secara bertahap mengurangi dan menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.

Dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2020 kebijakan tersebut akan diberlakukan mulai tahun 2025 sebesar 1 giga watt, 2030 sebesar 9 giga watt, 2040 dengan 10 giga watt, 2045 dengan 24 giga watt dan terakhir 2055 dengan 5 giga watt.

Implikasi kebijakan tersebut dalam penurunan valuasi keuangan PLN yang diestimasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terdampak mencapai 38 miliar dollar AS atau setara Rp 543 triliun.

Menagih janji dan memperkuat aliansi

Sebagaimana amanat dari Paris Agreement adalah penguatan aliansi global dan negara maju untuk membantu negara-negara berkembang dalam transisi energi secara berkadilan terutama untuk meninggalkan energi bebasis batu bara dan menuju energi dengan rendah karbon.

Aliansi yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) seperti Inggris, Perancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE) yang akan melakukan evaluasi dampak yang akan ditimbulkan akibat adanya proyek transisi energi di Indonesia, yang akan dibiayai melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

IPG menjanjikan dana ke Indonesia sebesar senilai 20 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 310 triliun.

Skema pendanaan JETP itu terdiri atas 10 miliar dollar AS yang berasal dari komitmen pendanaan publik, dan 10 miliar dollar AS dari pendanaan swasta dengan koordinator Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Mereka terdiri dari Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.

Meskipun demikian, tampaknya komitmen dari negara-negara maju dan penghasil emisi gas rumah kaca tersebut masih menjadi kendala.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, pendanaan JETP sampai sekarang belum diberikan untuk dimanfaatkan dalam pelaksanaan transisi energi yang adil dan terjangkau.

Di tengah ketidakpastian internasional dalam mendukung program transisi energi di Indonesia, maka peluang untuk memperkuat aliansi perlu dilakukan secara bilateral.

Salah satu opsi yang bisa ditempuh adalah identifikasi mengenai negara-negara yang telah berinvestasi di Indonesia, khususnya dalam bidang energi listrik yang berbahan batu bara untuk menjadi mitra strategis dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Negara-negara Asia bisa menjadi mitra setrategis Indonesia, misalnya Korea Selatan menjadi pihak dalam mendukung komitmen Indonesia menuju NZE 2060.

Beberapa opsi tersebut dilakukan dengan pertimbangan kondisi dalam negeri dikalkulasikan dengan tuntutan global.

Pertama, proyek investasi dalam PLTU masih menjadi tulang punggug Indonesia mencapai 80 persen memasok kebutuhan nasional.

Oleh karena itu, perlunya teknologi yang super critical menjadi dasar adaptasi perubahan iklim di sektor ketenagalistrikan. Sembari mendorong peningkatan bauran bahan baku yang renewable.

Korea menjadi mitra yang perlu didorong karena investasinya cukup besar di Indonesia seperti di PLTU Jawa 9-10, Suralaya, Banten. Proyek itu dibangun PT Indoraya Tenaga, perusahaan gabungan PT Indonesia Power—anak usaha PT PLN (Persero), dengan Doosan Heavy, dan Korea Midland Power senilai 3,5 milyar dollar AS dari pendanaan Korean Exim.

Demikian juga di PLTU Kanci 1 dan 2 yang pemegang saham terbesar dari Korea Selatan melalui Korea Midlane Power Co dan Samtan Korea bekerja sama dengan Indika Energi yang diperkirakan secara total mencapai 2 miliar dollar AS.

Khusus PLTU Kanci 1 direncakan akan dilakukan phase out sebagai pilot project pertama kalinya penghentian PLTU berbasis batu bara di Indonesia pada 2037 atau 15 tahun lebih cepat dari masa operasi.

Penghentian ini dilakukan dengan pendanaan dari Asian Development Bank sekitar 200-350 juta dollar AS.

Kedua, Korea Selatan memiliki kebijakannya South Korea The Green New Deal yang berfokus pada pengembangan energi terbarukan, infrastruktur ramah lingkungan, dan sektor industri.

Beberapa program dimulai dengan subsidi mobil ramah lingkungan hingga 17 juta dollar AS kepada masyarakat yang membeli mobil listrik pada 2021 dan hingga 33,5 juta dollar AS untuk kendaraan listrik sel bahan bakar hidrogen.

Selain itu pada 2022, menyerahkan NDC dan setrategi netralitas karbon pada 2050 atau satu dekade lebih maju dibandingkan Paris Agreement.

Indonesia memulai kampanye dengan mobil listrik, penguatan transpaortasi publik berbahan bakar renewable energy, hilirisasi produk pertambangan dan berbagai pengembangan lain.

Meskipun kita masih belum memiliki kerangka yang jelas mengenai kebijakan legislasi nasional bidang energi baru dan terbarukan.

Ketiga, Korea Selatan mengambil opsi yang soft terkait transisi energi dengan tetap mengandalkan sumber daya yang dimiliki, yakni dengan mengembangkan nuklir sebesar 30 persen untuk bauran energi, penguatan produksi hidrogen biru dan amonia bebasis LNG untuk pembakaran batu bara yang tersisa sampai program NZE 2050 tercapai.

Jadi tidak secara ugal-ugalan untuk menghentikan seluruh energi fosil, tetapi setahap demi setahap dengan pengembangan teknologi, kesiapan masyarakat dan fundamental industri dalam negeri.

Indonesia perlu membandingkan karena kita adalah negara dengan penghasil sumber daya alam dan perlu sifthing yang tepat agar persoalan ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional tetap dapat dipertahankan.

Berkaca dari hal tersebut, maka kunci untuk mencapai transisi energi yang berkadilan adalah kolaborasi dan memperkuat aliansi baik global, bilateral dan nasional serta pelibatan aktif pihak swasta dan masyarakat.

Sebab transisi energi memerlukan teknologi, organisasi, proses baru serta pemerintahan efektif untuk menjadi lokomotif dalam perubahan tersebut.

Maka ketika satu hambatan muncul – pemerintah perlu memikirkan berbagai alternatif lainnya karena bumi dan alam ini adalah titipan anak cucu (intergenerational equity) yang harus dijaga dan dipelihara karena mereka adalah masa depan kita.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com