JAKARTA, KOMPAS.com - Penarikan cukai plastik dianggap akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan beban bagi kalangan industri yang tengah bertumbuh saat ini. Karenanya, pemerintah perlu berhati-hati dalam pengenaan cukai plastik ini.
Hal itu menjadi benang merah acara diskusi publik bertajuk “Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal?”, di Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita menilai, penarikan cukai plastik akan berdampak negatif kepada pertumbuhan ataupun utilisasi industri dalam negeri yang sudah mulai bertumbuh saat ini.
Termasuk industri kecil menengah yang mencapai 99,7 persen, dan industri makanan minuman yang jumlahnya hampir 1,68 juta unit usaha.
Baca juga: Tarik Ulur Perjanjian Pengendalian Plastik Global, Daur Ulang atau Batasi Produksi
Dia mengkhawatirkan, penarikan cukai plastik dapat mengganggu sisi permintaan.
“Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor yang cenderung lebih murah. Ini juga yang harus kita sikapi. Karena demand tetap ada tetapi konsumen pasti cenderung memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya,” tutur Reni.
Dalam kaitannya dengan plastik, Kementerian Perindustrian melihatnya dari sisi lingkungan hidupnya.
”Kalau kita menganggap kemasan plastik, sebagai limbah, itu salah. Karena itu masih bisa diolah lagi bahkan bisa menjadi bahan baku,” sambungnya.
Jika terhadap kemasan-kemasan plastik itu dikenakan cukai, menurut Reni, pasti ada koreksi harga yang akan ditanggung oleh konsumen. Pada gilirannya permintaan akan terkoreksi juga.
"Takutnya kita dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh bisa terhambat,” tukasnya.
Dampaknya, utilisasi industri nasional dan daya saing akan terkoreksi menjadi lebih rendah. Celah ini akan diisi tidak hanya oleh pangsa impor produk hilir seperti produk makanan dan minuman dalam kemasan, juga bahan bakunya.
Baca juga: Resmikan Collection Center Terbaru, POPSEA Komitmen Melawan Polusi Plastik
Padahal, menurutnya, pekerjaan rumah terbesar adalah menumbuhkan lagi industri ini dari keterpurukan, setelah dihantam pandemi Covid-19.
Bukan limbah
Dia menegaskan, kemasan plastik bukan limbah karena bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk industri berbasis sandang, karpet, kemudian ada juga industri alas kaki.
Reni menilai dengan pengenaan cukai ini, industri daur ulang plastik akan kekurangan bahan baku karena pasar dalam negeri terkoreksi.
Sementara itu, Direktur Pengelolaan Sampah Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menjelaskan, ada yang belum beres dalam hal persoalan sampah terkait waste management.
“Memang belum beres. Jadi, kalau di data kita, pengolahan sampah mungkin baru 60 persen yang kita anggap (terkelola) secara baik dan benar. Dan masih ada mungkin sekitar 40 persen itu memang masih terbuang ke lingkungan dan menjadi persoalan,” ungkapnya.
Adapun Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Hidayat berpendapat, pengendalian sampah plastik harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan cost dan benefit.
Baca juga: Dibuang Sayang, Yuk Bikin Kerajinan Tangan dari Botol Plastik untuk Selamatkan Lingkungan
Menurutnya, penarikan cukai plastik ini akan memicu terjadinya kenaikan harga yang otomatis akan menyebabkan permintaan turun yang berdampak pada penuruan pendapatan.
“Kami sepakat yang disampaikan Kementerian Perindustrian bahwa cukai itu salah satu pilihan, tapi untuk saat ini adalah bukan pilihan pertama. Ada pilihan lain yang lebih baik kita ambil yang ongkosnya tidak sebesar itu, misalnya pengelolaan sampah yang lebih baik,” katanya.
Rachmat mengutip riset Indef 2015 yang mengungkapkan bahwa setiap 1,76 persen penurunan industri makanan-minuman akan berkontribusi terhadap hilangnya pendapatan secara nasional sebesar Rp 6,79 triliun dan ini berkorelasi dengan hilangnya lapangan pekerjaan sebanyak 280.000 orang.
Baca juga: Kurangi Sampah Plastik, Blue Bird dan WWF Bagikan 1.500 Tumbler
Selain itu pendapatan pemerintah berupa pajak berpotensi turun, baik pajak penghasilan maupun pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai.
"Itu baru satu contoh dari satu sektor industri makanan dan minuman saja. Artinya, harapan kita kondisi persampahan lebih baik melalui cukai, yang terjadi malah ongkosnya yang harus kita tanggung sangat besar," cetus Rachmat.
Oleh karena itu, Apindo memandang cukai plastik bukanlah pilihan yang tepat untuk diambil saat ini. Karena, ekonomi nasional masih memerlukan pertumbuhan yang salah satunya didorong oleh industri.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan, berdasarkan kajian yang dilakukan, penarikan cukai plastik ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
"Dari yang harusnya tumbuh 6 persen, tetapi karena ada kebijakan ini tidak jadi 6 persen, hanya 5,9 persen. Artinya, ada potensi pertumbuhan yang terbuang,” ujar Ahmad.
Menurut perhitungan Indef, jika mengenakan cukai pada kemasan plastik akan berdampak pada industri kemasan plastik, dan industri terkait yang menggunakannya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya