KOMPAS.com – Besarnya porsi utang dalam skema pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) dikhawatirkan menjadi beban fiskal di Indonesia.
Pada Selasa (21/11/2023), dokumen rencana investasi dan kebijakan komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP resmi diluncurkan.
Dikutip dari pemberitaan Kontan, dokumen CIPP JETP memobilisasi pendanaan senilai 21,6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 336 triliun.
Baca juga: Dokumen Rencana Investasi JETP Diluncurkan, Bauran Energi Terbarukan Ditarget 44 Persen
Dari angka tersebut, dana hibahnya hanya 1,37 persen yakni 295 juta dollar AS (Rp 4,6 triliun). Sisanya, 21,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 331 triliun berupa utang.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira menilai, skema pendanaan yang bertumpu pada pinjaman konsesi dan non-konsesi dikhawatirkan menimbulkan beban fiskal yang terlalu besar.
“Ini melenceng jauh dari ekspektasi JETP dimana porsi hibah dan suntikan modal ke proyeknya lebih besar,” kata Bhima kepada Kompas.com, Rabu (22/11/2023).
Dia menambahkan, hampir tidak ada perubahan yang signifikan antara dokumen CIPP yang disahkan dengan rancangan dokumen yang dirilis pada 1 November.
Baca juga: Rancangan Dokumen JETP Harusnya Lebih Memihak Masyarakat
Dengan porsi utang yang besar, Bhima mengkhawatirkan dokumen CIPP JETP yang disahkan memicu resistensi dari publik dan memengaruhi alokasi belanja lainnya, termasuk belanja sosial.
“Jelas JETP kalau tidak direvisi sesuai kepentingan Indonesia akan berubah menjadi debt trap atau jebakan utang,” tutur Bhima.
Dia menambahkan, dengan skema utang tersebut, Indonesia dipastikan akan impor teknologi secara besar-besaran dari pemberi dana yakni International Partner Group (IPG).
IPG merupakan kelompok negara yang dipimpin bersama oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang serta beranggotakan delapan negara lainnya.
Baca juga: Rancangan Dokumen JETP Dinilai Setengah Hati Wujudkan Transisi Energi Berkadilan di Indonesia
“Khususnya ketika memaksa berutang untuk membiayai pembangunan CCUS (carbon capture, utilisation and storage) atau penyimpan karbon, mini reaktor nuklir, hingga instalasi hidrogen,” ucap Bhima.
Bhima menyampaikan, sejak awal koalisi organisasi masyarakat sipil telah mendorong penghapusan sebagian utang ke negara maju.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membiayai penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai salah satu upaya transisi energi.
“Tapi masukan itu juga tidak muncul di CIPP,” ucap Bhima.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya