TAJUK rencana Kompas, Jumat (1/12/2023), menurunkan berita “Dampak Iklim Ekstrem Nyata” di tengah persiapan Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke 28 atau COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada 30 November – 12 Desember 2023, yang akan membahas kondisi kritis Bumi.
Delegasi Indonesia akan dipimpin langsung Presiden Joko Widodo yang bertolak dari Tanah Air, Kamis (30/11/2023).
Pembahasan dan ulasan tentang pemanasan global dan dampaknya terhadap kehidupan manusia sudah berulangkali dimuat dalam harian Kompas. Terakhir dimuat pada Rabu (22 /11/2023), berjudul “Dua Derajat Celsius Lebih Panas di Bumi”.
Padahal pada 2022 lalu, kenaikan suhu bumi baru mencapai 1,2 derajat Celsius meskipun dampaknya mulai terasa.
Gelombang panas tanpa akhir terjadi di negara-negara belahan bumi utara hingga hujan ekstrem yang merendam sepertiga daratan Pakistan.
Para ilmuwan di PBB sepakat bahwa bencana iklim yang akan mengancam kehidupan umat manusia akan terjadi jika suhu bumi naik melebihi 1,5 derajat Celsius.
Suhu global rata-rata pada Jumat (17/11/2023), menembus rekor sejarah, mencapai 2 derajat Celsius lebih panas daripada suhu praindustri tahun 1850-1900.
Rekor suhu harian ini memang belum menandai perubahan suhu rata-rata tahunan yang berkelanjutan, yang hingga saat ini mencapai 1,2 derajat Celsius lebih panas daripada praindustri.
Namun, fakta bahwa bumi telah melampaui batas pemanasan 2 derajat Celsius selama setidaknya satu hari menambah tanda seru pada serangkaian rekor suhu yang tercatat dalam beberapa bulan terakhir.
Sebelumnya, suhu global melewati rekor tertinggi pada Juli, Agustus, September dan Oktober 2023.
Data Copernicus juga menunjukkan bahwa tren tersebut tetap berlanjut, tambah tinggi lagi hingga November 2023.
Dengan tren ini, rata-rata suhu global pada 2023 diprediksi akan mencapai 1,3 hingga 1,4 derajat Celsius di atas suhu pra industri.
Ancaman perubahan dan krisis iklim berdampak pada kelangkaan air serta penurunan produktivitas pertanian. Indonesia tak luput dari persoalan tersebut (Kompas, 7/11/2023).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa saat membuka Konferensi Tahunan Sustainable Development Goals (SDGs) 2023 di Yogjakarta (06/11/2023), menyebut bahwa Indonesia mengalami penurunan curah hujan tahunan 1-4 persen pada 2020-2034 dari kondisi periode 1995-2010.
Hal ini berimplikasi pada kejadian kekeringan, berkurangnya ketersediaan air, bahkan bisa memicu konflik kebutuhan air.
Produksi padi juga berpotensi menurun. Pergeseran musim dan puncak musim hujan menyebabkan metode tanam berubah dan memengaruhi produksi.
Berdasarkan data Bappenas, perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi padi Indonesia 1,13 juta – 1,89 juta ton. Lahan sawah seluas 2.256 hektar terancam kekeringan.
Di sisi lain, kondisi ketahanan pangan Indonesia, ditilik dari tingkat konsumsi pangan rumah tangga, memburuk. Angka ketidakcukupan konsumsi pangan rumah tangga pada 2022 naik menjadi 10,2 persen dari 8,49 persen pada 2021.
Peningkatan ini terjadi pada kelompok penduduk dengan tingkat pengeluaran 40 persen terbawah, terutama kelompok rentan seperti warga lanjut usia.
Di tingkat global, krisis iklim menambah parah bencana kelaparan. Pada 2022 lalu, terdeteksi sepuluh titik pusat krisis iklim terparah, yakni Afghanistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Nigeria, Somalia, dan Zimbabwe.
Menyadari akan dampaknya terhadap kehidupan manusia di planet bumi ini, akibat adanya perubahan iklim yang menjurus kepada krisis iklim, maka negara-negara di dunia sepakat untuk menurunkan dan menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke 21 atau COP 21 di Paris tahun 2015 lalu.
Masing-masing negara peserta COP 21 diminta untuk menyusun dan membuat kontribusi nasional yang sudah ditentukan (nationally determined contribution/ NDC) untuk menekan dan menurunkan emisi GRK masing-masing negara.
Target Indonesia dalam COP 21 di Paris adalah penurunan emisi GRK 2030, yaitu 29 persen CMI melalui upaya sendiri dan 41 persen CMI melalui bantuan internasional.
Dalam COP 27 di Sharm El-Sheikh, Mesir (2022), target penurunan emisi GRK 2030 menjadi 32,89 persen dengan usaha sendiri dan menjadi 43,2 persen dengan bantuan asing.
Indonesia telah menyiapkan peta jalan (road map) krisis iklim. Peta jalan krisis iklim ini disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama-sama dengan kementerian/lembaga lain terkait yang memuat aksi perubahan emisi GRK untuk mencapai target NDC pada 5 (lima) kategori sektor.
Roadmap ini juga mendukung strategi jangka panjang yang rendah emisi dan berketahanan iklim. Roadmap NDC mitigasi menuangkan lebih rinci aksi-aksi mitigasi perubahan iklim dapat mencapai 2030.
Aksi penurunan emisi GRK di sektor energi adalah penerapan energi efisiensi, penggunaan energi terbarukan, penerapan teknologi energi bersih untuk pembangkit listrik, dan fuel switching.
Aksi penurunan emisi GRK di sektor kehutanan adalah penurunan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon, peningkatan peranan konservasi dan pengelolaan lahan gambut.
Aksi penurunan emisi GRK di sektor pertanian adalah penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah, penerapan sistem pengairan sawit lebih hemat air, pemanfaatan limbah ternak untuk biogas dan perbaikan suplemen pakan ternak.
Aksi penurunan emisi GRK di sektor limbah adalah pengolahan limbah padat kota melalui operasionalisasi TPA, pengolahan limbah cair domestik, pengolahan limbah padat industri dan pengolahan limbah cair indistri.
Aksi penurunan emisi GRK di sektor proses industri dan penggunaan produk (IPPU) adalah pengurangan “clinker to cement ratio” di industri semen, peningkatan efisiensi di industri ammonia dan penambahan aksi mitigasi lainnya.
Aksi penurunan GRK sudah barang tentu membutuhkan biaya/dana yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh negara.
Sebagai contoh dalam penurunan GRK di sektor kehutanan yang dijabarkan dalam FOLU (Forest and Other Land Use) Net Sink 2030 yang disusun pada 2022.
Penyerapan GRK ditargetkan 140 juta ton CO2e pada 2030 dan kemudian meningkat menjadi 304 juta ton setara CO2 pada 2050.
Sektor kehutanan hendak menurunkan emisi GRK 17,2 persen dari 2,87 miliar ton perkiraan emisi 2030 dalam skenario penurunan emisi nasional 29 persen.
Untuk itu dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 disebutkan bahwa total biaya daur hidup yang dibutuhkan untuk kegiatan mitigasi LTS-LCCP menuju net sink untuk periode 2020-2030 diproyeksikan sebesar Rp 204.02 triliun (Rp 18,55 triliun per tahun).
Total kebutuhan biaya tersebut masih jauh di atas ketersediaan dana (defisit) yang dihitung dari proses tagging pendanaan RPJMN untuk kegiatan mitigasi 2020-2024, yakni sebesar Rp 19,61 triliun (Rp 3,92 triliun per tahun) (KLHK 2021).
Jadi, dalam mencapai skenario LCCP yang paling ambisius, dijelaskan kembali oleh Indonesia bahwa terdapat kesenjangan dana untuk kebutuhan aksi mitigasi hingga mencapai Rp 74 triliun (Rp 14,8 triliun per tahun).
Belum lagi, kita bicara mengenai kebutuhan penurunan emisi GRK dari sektor lain seperti sektor energi, sektor pertanian, sektor industri dan penggunaan produk (IPPU); sudah barang tentu total defisit pembiayaan penurunan GRK secara keseluruhan akan membengkak lebih besar.
Pembiayaan penurunan GRK yang diharapkan dari perdagangan karbon melalui bursa karbon ternyata belum dapat terealisasi sesuai harapan.
Sementara pajak karbon yang menjadi penopang utama dalam penurunan GRK masih akan berlaku tahun 2025, itupun masih wait and see menunggu kondisi politik dan ekonomi Indonesia stabil lebih dahulu.
Di balik musibah perubahan dan krisis iklim dunia yang harus dipulihkan, ditekan dan diturunkan kenaikan emisi GRK secara global; Indonesia sebagi negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa yang mempunyai hutan tropika basah ketiga di dunia nampaknya diuntungkan dan memperoleh berkah ekonomi dari musibah krisis iklim ini melalui konsep menjual karbon yang jumlahnya melimpah.
Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS.
Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Anggota Komisi Kehutanan DPR, Kamrussamad, memperkirakan potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan tropis seluas 120,3 juta hektare dapat menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton; mangrove seluas 3,31 juta hektare dan menyerap 33 miliar ton serta hutan gambut seluas 7,5 juta hektare yang menyerap 55 miliar ton.
Jika harga karbon Indonesia 5 dollar AS per ton saja, nilai ekonomi perdagangan karbon lewat bursa karbon sangat besar.
Sayangnya, konsep menjual karbon dari perdagangan karbon meskipun menjanjikan dan nilainya sangat tinggi nampaknya belum menggembirakan apabila melihat data bursa karbon yang dicanangkan Presiden Jokowi pada September 2023 lalu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat IDX Carbon atau bursa karbon di Indonesia melakukan transaksi hingga 29 September 2023 baru mencapai Rp 29,21 miliar dengan volume unit karbon 459.000 ton CO2.
Untungnya, ada sinyal positif di COP 28 Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) (Kompas, 01/12/2023). COP 28 Dubai menyepakati pendanaan kehilangan dan kerusakan bagi negara berkembang yang rentan terdampak perubahan iklim.
Pendanaan kehilangan dan kerusakan untuk negara-negara berkembang yang rentan terdampak perubahan iklim ini dimulai dengan komitmen UEA yang akan memberikan dana 100 juta dollar AS. Komitmen ini disusul Jerman dengan nominal yang sama.
Kita tunggu saja komitmen dan janji negara-negara maju untuk mewujudkan pendanaan 100 juta dollar AS. Janji pendanaan ini sangat penting, terutama untuk mendukung agenda trasisi energi dan aksi iklim besar lainnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya