KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) mengungkap bahwa pada 2050, resistensi antimikroba (AMR) berpotensi mengancam ketahanan pangan dua miliar orang dan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 100 triliun Dolar AS, jika tidak ada tindakan mendesak yang diambil.
Resistensi antimikroba (AMR) adalah kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit yang menyebabkan infeksi, berubah atau berevolusi sehingga kebal terhadap obat-obatan antimikroba yang seharusnya bisa membunuh atau menghentikan pertumbuhannya.
Resistensi didorong oleh penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan dalam pengobatan manusia dan hewan, AMR diidentifikasi sebagai salah satu ancaman paling serius terhadap kesehatan global, ketahanan pangan, dan stabilitas ekonomi.
Baca juga: Cegah Wabah karena Iklim, Indonesia Perkuat Sistem Kesehatan dengan AI
Laporan WOAH mengungkap bahwa berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (patogen) semakin kebal terhadap pengobatan, bahkan ada beberapa yang sama sekali tidak lagi mempan terhadap obat-obatan antimikroba.
Mengutip Down to Earth, Selasa (8/7/2025), penggunaan antibiotik krusial seperti fluoroquinolones dalam jumlah signifikan di akuakultur berpotensi mempercepat resistensi antimikroba (AMR), yang pada akhirnya akan membahayakan kemampuan kita untuk mengobati infeksi pada manusia.
Selain itu, laporan juga menyoroti bahwa sekitar seperlima dari negara WOAH masih menggunakan antimikroba sebagai pemicu pertumbuhan hewan, meski organisasi tersebut telah merekomendasikan untuk tidak melakukan praktik tersebut.
Di antara negara-negara yang menggunakan antimikroba sebagai pemicu pertumbuhan itu, 7 persen di antaranya bahkan antibiotik yang sangat penting dan seharusnya dijaga ketat untuk pengobatan manusia, seperti kolistin, enrofloksasin, dan fosfomisin. Ini memperparah masalah resistensi antimikroba (AMR).
“Penggunaan antimikroba yang tidak pandang bulu berkontribusi terhadap resistensi antimikroba (AMR), yang merupakan ancaman besar bagi kesehatan hewan dan manusia,” kata Javier Yugueros-Marcos, Kepala Departemen Resistensi Antimikroba dan Produk Hewan di WOAH.
Kabar baiknya, meskipun ada kekhawatiran tentang AMR, laporan ini menunjukkan tren positif di mana penggunaan antibiotik pada hewan global sudah mulai berkurang, terutama di Eropa (23 persen) dan Afrika (20 persen).
Baca juga: Kadar Arsenik di Beras Naik, Kesehatan Masyarakat di Asia Terancam
Ini menandakan adanya upaya dan kemajuan dalam memerangi resistensi antimikroba.
Javier Yugueros-Marcos, kepala departemen resistensi antimikroba dan produk veteriner di WOAH mengungkapkan penurunan penggunaan antibiotik di hampir semua wilayah adalah hal yang menggembirakan.
Namun, ia menambahkan bahwa pengurangan lebih lanjut dapat dicapai dengan memprioritaskan tindakan pencegahan terhadap penyakit hewan. Dalam hal ini, vaksinasi disebut sebagai komponen penting dari langkah-langkah pencegahan tersebut.
Laporan juga memperkirakan jika petani di seluruh dunia mampu mengurangi penggunaan antibiotik sebesar 30 persen, melalui peningkatan kebersihan, vaksinasi, dan biosekuriti maka ekonomi global bisa mendapatkan keuntungan sebesar 120 miliar Dolar AS pada tahun 2050.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya