Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

14 dari 15 Jenis Tarsius Ada di Indonesia, tapi Habitatnya Terus Tergerus

Kompas.com, 9 Juli 2025, 13:00 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar Ekologi Satwa Liar IPB University, Abdul Haris Mustari, mengatakan bahwa dari 15 spesies tarsius yang ada di dunia, 14 di antaranya ditemukan di Indonesia. Sebanyak 13 spesies bahkan berada di Pulau Sulawesi.

Data ini menegaskan bahwa Indonesia, khususnya Sulawesi, merupakan pusat keanekaragaman hayati tarsius global.

Konservasi habitat alami tarsius menjadi kunci utama menjaga kelestarian spesies langka ini,” ujar Abdul, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis di laman IPB, Rabu (9/7/2025).

Tarsius dikenal sebagai primata nokturnal dengan bobot ringan, sekitar 50–100 gram, serta mata besar yang tidak proporsional dibandingkan ukuran tubuhnya. Satwa ini juga memiliki kemampuan memutar kepala hingga 180 derajat.

Secara perilaku, tarsius hidup secara monogami dalam kelompok kecil yang terdiri dari induk jantan, betina, dan anak-anaknya. Perkembangan ilmu taksonomi, menurut Abdul, menunjukkan bahwa jumlah spesies tarsius bisa terus bertambah.

Baca juga: Peneliti BRIN Temukan 2 Spesies Baru Kumbang Kura-kura di Sulawesi

Hal ini bukan karena adanya spesiasi baru dalam waktu singkat, tetapi karena kemajuan teknologi analisis DNA molekuler yang mampu mengidentifikasi perbedaan antarpopulasi berdasarkan wilayah geografis.

“Dulu Sulawesi dianggap hanya punya satu spesies, sekarang terbukti berbeda-beda antara Sulawesi Utara, Tengah, Selatan, Tenggara, hingga Pulau Buton,” jelasnya.

Lebih lanjut, Abdul mengatakan bahwa habitat alami tarsius mencakup hutan sekunder, rumpun bambu, dan kebun di sekitar rumah yang berdekatan dengan kawasan hutan. Namun, habitat ini terus terancam oleh deforestasi akibat pertambangan, kebakaran hutan, dan alih fungsi lahan.

“Deforestasi berarti mengubah hutan menjadi bukan hutan. Ditambah fragmentasi hutan akibat aktivitas manusia membuat habitat tarsius terpecah dan tidak utuh,” ujar Abdul.

Menurutnya, tantangan paling mendesak saat ini adalah memperkuat perlindungan kawasan konservasi yang sudah ditetapkan pemerintah, sekaligus menyiapkan kebijakan berbasis spesies untuk satwa endemik seperti tarsius.

“Lebih baik mengamankan rumahnya dulu sebelum memperbanyak populasinya. Kalau habitatnya sudah rusak, hasil penangkaran mau dilepas ke mana?” lanjutnya.

Ia menilai pendekatan konservasi yang selama ini dijalankan belum cukup fokus pada spesies kunci seperti tarsius.

Kebijakan pemerintah lebih banyak diarahkan pada pengelolaan ekosistem secara umum, tanpa strategi spesifik untuk melindungi spesies tertentu, sehingga efektivitas konservasi menjadi terbatas.

Terkait upaya penangkaran, Abdul menyebutkan bahwa metode ini belum terbukti efektif untuk tarsius. Beberapa inisiatif, termasuk di Sulawesi Selatan, belum menunjukkan hasil yang diharapkan.

Baca juga: Elang Jawa Tinggal 511 Pasang, Butuh Aksi Nyata Konservasi Habitat

Abdul mengatakan bahwa tarsius sulit bertahan hidup di dalam kandang karena pola makannya sangat variatif dan perilaku bertahan hidupnya dipelajari secara alami dari induknya.

Oleh karena itu, pendekatan konservasi in-situ, yaitu melindungi habitat aslinya, dinilai sebagai cara paling efektif dan efisien untuk menjaga populasi tarsius maupun spesies lain.

Menurutnya, jika habitatnya yang dilindungi, bukan hanya tarsius yang terlindungi, tapi juga anoa, babi rusa, monyet hitam Sulawesi, bahkan keanekaragaman tumbuhan, air, dan udara.

Indonesia memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, termasuk primata. Namun, menurut Abdul, ancaman utama bukan berasal dari predator alami seperti burung elang atau ular piton, melainkan dari aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab.

“Yang paling berbahaya adalah manusia, lewat tambang, kebakaran, dan perkebunan sawit. Monokultur sawit telah menggantikan hutan-hutan di Sulawesi, menyebabkan hilangnya tempat tinggal tarsius,” pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
KLH: Indonesia Darurat Sampah, Tiap Tahun Ciptakan Bantar Gebang Baru
KLH: Indonesia Darurat Sampah, Tiap Tahun Ciptakan Bantar Gebang Baru
Pemerintah
Ecoground 2025: Blibli Tiket Action Tunjukkan Cara Seru Hidup Ramah Lingkungan
Ecoground 2025: Blibli Tiket Action Tunjukkan Cara Seru Hidup Ramah Lingkungan
Swasta
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
BBM E10 Persen Dinilai Aman untuk Mesin dan Lebih Ramah Lingkungan
Pemerintah
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
LSM/Figur
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Pemerintah
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar 'Langkah Membumi Ecoground 2025'
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar "Langkah Membumi Ecoground 2025"
Swasta
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
BUMN
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
Pemerintah
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
LSM/Figur
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Pemerintah
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
Pemerintah
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
Pemerintah
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
LSM/Figur
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
Pemerintah
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau