JAKARTA, KOMPAS.com — Upaya perlindungan laut dan pengelolaan perikanan berkelanjutan di Indonesia mendapat dukungan dari hasil eksplorasi laut dalam yang dilakukan oleh tim peneliti dari OceanX, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Konservasi Indonesia (KI).
Eksplorasi ini dilaksanakan sepanjang tahun 2024 dalam program Indonesia OceanX Mission diharapkan dapat mendukung target nasional pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (Marine Protected Area/MPA).
Rian Prasetia, peneliti dari KI sekaligus Senior Manager Blue Halo S, menjelaskan bahwa tim KI sedang mendalami hasil riset dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 572 yang mencakup Samudera Hindia bagian barat Sumatra dan Selat Sunda. Dalam eksplorasi Leg-2 dan Leg-3, tim meneliti total 35 lokasi: 26 titik pada Leg-2 dan 9 titik pada Leg-3.
Penelitian dilakukan menggunakan Remotely Operated Vehicle (ROV), yakni kendaraan bawah laut tanpa awak yang dikendalikan dari permukaan melalui kabel atau serat optik.
Dengan alat ini, peneliti menjelajah laut dalam pada kedalaman 60 hingga 5.000 meter, melintasi zona mesofotik (cahaya redup), mesopelagik (zona senja), hingga batipelagik (gelap total), dengan total jarak tempuh 26,25 kilometer.
“Fokusnya adalah memetakan komunitas bentik dan nekton, termasuk ikan laut dalam yang hingga kini masih minim data,” ujar Rian dalam keterangannya, Rabu (9/7/2025).
Baca juga: Kolaborasi Antar-Organisasi Dibentuk untuk Efektifkan Konservasi Laut
Data dikumpulkan dari ribuan jam rekaman bawah laut dan kini sedang dianalisis secara taksonomi, proses yang memerlukan waktu cukup panjang. Namun, temuan awal menunjukkan potensi ekologi dan perikanan yang penting di beberapa lokasi eksplorasi.
“Dari 35 lokasi yang kami teliti, sembilan di antaranya punya kelimpahan tinggi. Menariknya, semua berada di kedalaman menengah mesopelagik sekitar 150–1.000 meter,” jelas Rian.
Lokasi dengan kelimpahan tinggi tersebut berada di sekitar selatan perairan Nias, Pulau Siberut, hingga daratan Sumatra. Tim juga mencatat keberadaan teripang dalam jumlah sangat melimpah, serta kemunculan fauna laut dalam seperti pari dan hiu pada kedalaman 1.000 hingga 5.000 meter.
Rian berharap, temuan-temuan ini dapat menjadi dasar ilmiah bagi kebijakan perikanan dan pembentukan kawasan konservasi baru, sehingga pengelolaan laut Indonesia bisa lebih adaptif dan berbasis keanekaragaman hayati.
Dari sisi kebijakan, Victor Nikijuluw, penasihat senior program laut di Konservasi Indonesia, menjelaskan bahwa hasil riset ini ditargetkan menghasilkan tiga keluaran utama untuk memperkuat sistem pengelolaan perikanan nasional.
Baca juga: Konservasi Laut Jadi Strategi KKP Hadapi Ancaman Krisis Pangan
“Pertama, publikasi ilmiah berupa scientific paper untuk memperkuat pengetahuan di sektor perikanan,” kata Victor.
Kedua, penyusunan dokumen kebijakan seperti policy paper dan policy brief yang dapat digunakan langsung oleh pemerintah, terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dalam pengambilan keputusan.
“Ketiga, hasil penelitian ini juga akan disusun sebagai informasi ilmiah pendukung bagi target Indonesia dalam visi MPA 30x45,” lanjutnya.
Ia menambahkan bahwa pertemuan antara peneliti OceanX, BRIN, dan KI merupakan bagian dari proses menyusun rekomendasi berbasis data untuk memperkuat kebijakan nasional.
Salah satu langkah yang telah dicapai adalah penyusunan draf Reviu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) untuk WPP 572 yang sudah diserahkan kepada Menteri KKP dua bulan lalu.
“Namun, pelaksanaan RPP ini masih butuh data yang lebih lengkap, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Dengan dukungan data dan kajian ilmiah yang kuat, pengelolaan perikanan nasional bisa menjadi lebih adaptif, terukur, dan berkelanjutan,” ujar Victor.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya