CERITA tentang hutan adat dan masyarakat hukum adat (MHA) dengan segala permasalahannya tak habis-habisnya dibahas di negara ini. Namun belum ada penyelesaiannya secara tuntas mau dibawa kemana sebenarnya hutan adat ini.
Harian Kompas secara berseri memuat berita tentang "Hutan Adat" pada 11-18 Desember 2023. Mulai dari judul “Menanti Hutan Adat Diakui”, “Hutan Adat dalam Sengkarut Izin dan Iklim”, "Pengelolaan Hutan Adat Menanti Terobosan”, “Bersetia Menjaga Hutan, Rupiah Pun Mengalir", “Penjaga Hutan yang Terpinggirkan”, “Bibit Harapan di Tanah Batak”.
Semua tulisan tersebut memuat tentang hutan adat dengan masyarakat hukum adat (MHA) yang ingin diakui legalitasnya oleh pemerintah melalui regulasi afirmatif yang mudah, cepat dan sederhana sekaligus untuk memperjuangkan kesejahteraan MHA melalui pengelolaan hutan adatnya.
Dalam tulisan saya di Kolom Kompas.com, 4 Februari 2023, tentang hutan, saya menulis dan mempertanyakan “Hutan Adat Bukan Hutan Negara, Lantas hutan Apa?" yang sampai hari ini belum terjawab dengan tuntas. Kenapa demikian?
Tidak ada hutan adat tanpa masyarakat hukum adat (MHA). Namun sebaliknya, masyarakat hukum adat tidak harus dengan/tanpa hutan adat.
Hutan adat menjadi kawasan hutan yang kontroversial sejak terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan negara pada 2012.
Sayangnya putusan MK yang membatalkan pasal 5 ayat (2), tidak diikuti dengan perubahan pasal 67 bab masyarakat hukum adat dalam undang-undang (UU) No. 41/1999 tentang kehutanan sehingga proses pengakuan MHA dan hutan adatnya masih sama/tidak berubah, yaitu melalui peraturan daerah yang nampak untuk banyak daerah kabupaten di Indonesia masih sulit diwujudkan realisasi perda semacam ini.
Menurut para pengamat kehutanan, luas kawasan hutan adat di seluruh Indonesia tidak lebih dari 5 persen dari luas kawasan hutan yang 120,3 juta hektare itu.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari usulan penetapan hutan adat yang telah memiliki produk hukum, baik peraturan daerah maupun produk hukum daerah lainnya luasnya mencapai sekitar 3,66 juta hektare.
UU masyarakat hukum adat yang diharapkan mampu mengakomadasi dan mempermudah pengakuan MHA dan hutan adatnya, belum terdapat tanda-tanda penyelesainnya dan masih jauh dari kenyataan, meskipun tahun 2021, Rancangan UU MHA masuk dalam program legislasi nasional untuk diundangkan.
Rancangan UU MHA bila dikaji dan dipelajari lebih jauh nampaknya juga memberi kesan bahwa pengakuan MHA masih tetap sama. Birokrasinya masih berbelit-belit, panjang dan kurang memihak pada MHA yang secara kultural telah eksis bertahun-tahun dan jumlahnya cukup banyak di Indonesia.
Melihat kenyataan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam turunannya UU Cipta Kerja bidang kehutanan, di Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2021 dan Peraturan Menteri No. 9/2021, berani memasukkan hutan adat (HA) sebagai salah satu skema dari lima skema kegiatan perhutanan sosial selain hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (Hkm), hutan tanaman rakyat (HTR) dan kemitraan kehutanan (KK).
Berdasarkan pembaharuan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), hingga Agustus 2023 telah teregistrasi 1.336 peta wilayah adat yang tersebar di 155 kabupaten/kota dengan luas sekitar 26,9 juta hektare.
Angka ini bertambah 1,8 juta hektare dari data sebelumnya yang dirilis pada Maret 2023 seluas 25,1 juta hektare di 154 kabupaten/kota.
Dari jumlah itu, 219 wilayah adat sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan luas 3,73 juta hektare atau sekitar 13,9 persen. Adapun total hutan adat yang sudah mendapatkan pengakuan sebanyak 123 hutan adat dengan luas 122.648 hektare.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya