Sementara KLHK perlu memperluas kerja sama dengan pemda dalam pengakuan hutan adat yang secara pararel mendukung pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya.
Secara spesifik, pemerintah daerah juga perlu menyiapkan atau mengaktifkan kelembagaan yang memiliki tugas khusus menyelenggarakan pengakuan masyarakat adat serta mengalokasikan anggarannya.
Keempat, RUU Masyarakat Hukum Adat macet di DPR. UU ini kelak jika disahkan, sebaiknya menghapus tahap-tahap yang mempersulit pengakuan dan penetapan masyarakat hukum adat.
Kelima, meskipun hutan adat masuk skema pengelolaan hutan di kawasan hutan, perhutanan sosial menjadi solusi sementara pengakuan masyarakat adat dan hutan adat. Dari 12,7 juta hektare target perhutanan sosial, realisasinya 5,3 juta hektare.
Artinya, masih ada 7,4 juta hektare yang belum tercapai. Tinggal niat dan kemauan politik mengakui masyarakat adat beserta hutan adatnya.
Seharusnya, khusus untuk hutan adat diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah (PP) sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (sambil menunggu disahkannya UU MHA, PP ini sebagai turunannya). Tidak semestinya hutan adat masuk dalam skema kegiatan perhutanan sosial.
Sejak awal berdiri negara ini, sebenarnya masyarakat adat punya tempat tersendiri. Undang-Undang Nomor 5/1967 tentang ketentuan pokok kehutanan, hutan adat diatur secara khusus di pasal 17. Masalahnya, konstitusi ini tak diimplementasikan dengan serius oleh pemerintah.
Keberpihakan pada investor dalam mengelola hutan membuat masyarakat adat tersisih dari ruang hidup mereka. Ini karena secara regulasi juga ambigu.
Penjelasan pasal 17 UU/5/1967 menyebutkan “…andaikata hak ulayat suatu masyarakat adat digunakan untuk menghalang-halangi rencana umum pemerintah, misalnya, menolak dibukanya hutan untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya. Demikian pula tidak bisa dibenarkan apabila hak ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat adat membuka hutan secara sewenang-wenang”.
Dengan pengaturan ini tak mengherankan jika banyak meletup konflik tenurial antara masyarakat adat dengan perusahaan pemegang konsesi kehutanan. Konflik terus terjadi hingga hari ini.
Masyarakat adat sedang harap-harap cemas menanti pembahasan RUU Masyarakat Adat yang akan menganulir mekanisme pengakuan hutan dan masyarakat adat.
Mungkin kita perlu melihat bagaimana pemerintah Amerika Serikat menelurkan hak mengelola sumber daya alam bagi suku Navajo Indian, yang tersebar di timur laut Arizona dan wilayah barat laut New Mexico.
Merujuk pengakuan suku Navajo, konstitusi Amerika memiliki kedaulatan mandiri selain kedaulatan pemerintah negara bagian dan federal.
Menariknya, masyarakat adat tidak diwajibkan untuk mematuhi Konstitusi Amerika Serikat dalam membangun model pemerintahan dan menentukan hukum yang berlaku bagi mereka karena mereka merupakan pihak ekstrakonstitutional.
Berkaca dari sejarah Navajo, pemerintah Indonesia bisa memberikan kewenangan lebih luas kepada masyarakat adat dalam eksploitasi sumber daya alam di sekitar ruang hidup mereka.
Selama ini eksploitasi ekonomi dari sumber daya alam di tanah masyarakat adat mengabaikan prinsip partisipatif dan pembagian keuntungan yang adil dan merata.
Hal ini karena ketiadaan mekanisme yang adil dalam pembagian keuntungan atas hasil eksplorasi atas sumber daya alam yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.
Masyarakat adat Navajo memiliki peran penting dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan sumber daya alam di wilayah mereka, termasuk melaksanakan kekuasaan untuk mengeluarkan sewa atau izin, dan menetapkan tarif untuk sewa dan royalti, serta berbagai manfaat lain yang diperoleh dari eksploitasi sumber daya alam.
Selain itu, mereka memiliki legal standing untuk melakukan proses penuntutan atau gugatan terhadap pemerintah Amerika Serikat apabila ada pelanggaran komitmen keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayah masyarakat dan hutan adat Navajo.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya