Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/01/2024, 20:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik wacana pembangunan giant sea wall atau tanggul laut raksasa dari pemerintah.

Wacana tersebut mengemuka kembali ke publik setelah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyelenggarakan seminar nasional yang membahas percepatan pembangunan giant sea wall pada Rabu (10/1/2024).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, proyek giant sea wall penting bagi kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) karena menghadapi ancaman bencana alam dari penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut.

Baca juga: NCICD dan Giant Sea Wall untuk Pantai Utara Jawa, Apa Bedanya?

Sedangkan Walhi menyebut, pembangunan giant sea wall dengan cara mereklamasi laut tidak menyentuh akar masalah dan merupakan sesat pikir pembangunan.

Walhi menilai proyek tersebut tidak akan menjawab akar persoalan kehancuran ekologis Pulau Jawa yang selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau kecil.

Dalam keterangan tertulis, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Parid Ridwanudin mengatakan, wilayah pesisir utara Jawa, mulai dari Banten sampai Jawa Timur, dibebani izin industri skala besar yang menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah secara cepat.

Membangun giant sea wall bukan solusi dari penurunan muka tanah. Walhi balik mendesak untuk mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa.

Dilansir dari keterangan tertulis, berikut empat dampak negatif pembangunan giant sea wall menurut Walhi.

Baca juga: Pra-desain Giant Sea Wall Pantura Jawa Butuh Rp 58 Triliun

1. Krisis di perairan utara Jawa

Pembangunan giant sea wall dinilai akan menghancurkan wilayah laut atau perairan Pulau Jawa bagian utara yang selama ini menjadi wilayah tangkapan ikan ratusan ribu nelayan tradisional.

Proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pada 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk jakarta sebanyak 388.200.000 meter kubik.

Jumlah ini sangat besar untuk kebutuhan reklamasi di Jakarta saja.

Ambisi pembangunan giant sea wall akan mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati yang ada di perairan pulau Jawa bagian utara.

Pembangunan giant sea wall akan semakin mengancam stok sumber daya ikan sebagai sumber protein masyarakat.

Baca juga: Kala Prabowo Terlibat Pembahasan Proyek Giant Sea Wall...

2. Mengancam ekonomi masyarakat pesisir

Pada 2016, KKP melalui Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, mempublikasikan kajian mengenai dampak proyek reklamasi Pulau C dan D di Teluk Jakarta.

Salah satu contoh dari studi tersebut adalah setiap wilayah perairan yang hilang seluas 1 hektare menyebabkan kerugian ekonomi nelayan mencapai Rp 26 juta per orang per tahun.

Total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp 137 miliar per tahun.

Contoh lainnya adalah setiap unit usaha budidaya kerang hijau yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian pembudidaya sebesar Rp 85 juta per unit per tahun.

Jumlah unit budidaya kerang hijau tercatat sebesar 1.155 unit sehingga total kerugian mencapai Rp 98 miliar per tahun.

Meskin kajian ini belum menghitung dampak kerugian dan kehilangan ekonomi masyarakat di sektor perikanan di tempat lainnya di pesisir utara Jawa, dapat dibayangkan kerugiannya bisa lebih besar.

Berdasarkan kalkulasi tersebut, proyek giant sea wall akan memperluas kerugian dan kehilangan ekonomi yang dirasakan oleh nelayan dan para pelaku perikanan lainnya di pesisir utara Jawa.

Baca juga: Prabowo Dorong Pembangunan Giant Sea Wall, Ganjar: Memang Satu Guru dengan Saya

3. Menggusur mangrove

Walhi menilai giant sea wall tidak akan mampu menjawab krisis iklim dan justru mempercepat kehancuran eksosistem mangrove.

Padahal, luas lahan mangrove di sepanjang pantura saat ini sudah menyusut karena berbagai pembangunan, termasuk aktivitas industri.

Pada 2010, lahan mangrove tercatat seluas 1,784 juta hektare. Tahun 2021, lahan mangrove mengalami kehilangan yang sangat signifikan hingga luasannya menyusut jadi 10.738,62 hektare.

Begitu pula di pesisir Jakarta. Saat ini luasan mangrove tercatat tidak lebih dari 25 hektare. Padahal sebelum adanya proyek reklamasi, luasannya tercatat lebih dari seribu hektare.

Fenomena tersebut ironis di tengah kampanye dan diplomasi pemerintah Indonesia yang gencar ke dunia untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mangrove dunia sebagai upaya dari mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

Baca juga: Atasi Meningkatnya Permukaan Laut, Prabowo Usulkan Pembangunan Rumah Panggung dan Giant Sea Wall di Pantura

4. Menggusur nelayan

Di Jakarta, pembangunan tanggul laut yang masih berjalan sampai saat ini telah mengancam kelangsungan hidup nelayan yang tinggal di Pesisir utara Jakarta.

Berdasarkan hasil analisis risiko pembangunan NCICD fase A yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, sekitar 24.000 nelayan di Jakarta Utara terancam digusur.

Penggusuran tersebut menimbulkan potensi hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan, sebab mereka harus direlokasi ke wilayah lain yang aksesnya jauh dari laut dan kapal.

Walhi menyatakan, pembangunan giant sea wall tidak menyentuh persoalan subtansial yang dihadapi masyarakat.

Baca juga: Bisakah Giant Sea Wall Dibangun Tanpa Pembebasan Lahan? Ini Kata Menteri ATR

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com