USAI debat pamungkas calon wakil presiden, Minggu (21/1/2024), tentunya kita juga ingin menyorot kualitas para calon pemimpin tertinggi ke-2 di negeri ini terutama dalam isu Pembangunan Berkelanjutan, yang merupakan salah satu dari 7 topik debat tersebut.
Siapakah yang paling menonjol?
Sebelum mengupas masing-masing cawapres, topik Pembangunan Berkelanjutan diilhat dalam kerangka 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang telah disepakati negara maju maupun berkembang di Sidang Umum PBB tahun 2015 hingga 2030.
Yakni (1) tanpa kemiskinan, (2) tanpa kelaparan, (3) kehidupan sehat dan sejahtera, (4) pendidikan berkualitas, (5) kesetaraan gender, (6) air bersih dan sanitasi yang layak, (7) energi bersih dan terjangkau.
Lalu (8) pekerjaan yang layak dan ekonomi, (9) industri, inovasi, dan infrastruktur, (10) berkurangnya kesenjangan, (11) kota dan pemukiman berkelanjutan, (12) konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
Kemudian (13) penanganan perubahan iklim, (14) ekosistem kelautan, (15) ekosistem darat, (16) perdamaian, keadilan, kelembagaan yang tangguh, (17) kemitraan untuk mencapai tujuan.
Ke-17 TPB tersebut bisa dikelompokkan menjadi empat pilar, yakni sosial, ekonomi, lingkungan, hukum berserta tata kelola.
Kemudian kriteria penilaiannya dilihat dari empa aspek, yakni:
Pertama, kesesuaian visi misi dan program tertulis dengan apa yang disampaikan masing-masing cawapres dalam debat serta apa yang telah dilakukan selama ini untuk menunjukkan komitmen dan keseriusan tentang pembangunan berkelanjutan.
Kedua, apa prioritas pembangunan berkelanjutan masing-masing cawapres mengacu pada 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Ketiga, kecepatan beradaptasi dan mengambil keputusan atas isu-isu yang naik daun, namun belum dipahami sepenuhnya untuk menunjukkan kesiapan dan kemampuan dalam menghadapi tantangan-tantangan baru.
Keempat, akurasi data yang ditampilkan untuk menghindari fitnah, hoax, melebih-lebihkan dan greenwashing.
Cawapres nomor satu Muhaimin Iskandar dalam pidato pembukaannya menekankan perlunya keberpihakan kepada petani, nelayan, masyarakat adat, desa untuk ketahanan pangan, energi baru terbarukan, etika lingkungan, yakni keseimbangan antara manusia dan alam, serta keadilan iklim, keadilan ekologis, keadilan antargenerasi, keadilan agraria, dan keadilan sosial.
Pidato ini masih koheren dengan visi-misi tertulis pasangan Anies Baswedan-Muhaimin, yakni misi ke-1 kemandirian pangan dan ketahanan energi, misi ke-3 keadilan ekologis berkelanjutan, misi ke-4 membangun kota dan desa berbasis kawasan.
Sebenarnya ada misi ke-2 tentang pengentasan kemiskinan, misi ke-5 tentang manusia Indonesia yang sehat dan misi ke-6 tentang keluarga sejahtera dan bahagia yang seharusnya sangat layak untuk diangkat oleh Muhaimin. Namun hal ini tidak tersampaikan dalam pembukaan debat.
Poin positif lainnya yang tertuang dalam visi misi dan program tertulisnya adalah beberapa kata kunci penting seperti keberlanjutan dipakai sebanyak 31 kali, hijau 15 kali, ekonomi biru 3 kali, lingkungan 47 kali, dan hak asasi/HAM 10 kali.
Ini hanya bisa dilihat pada visi misi dan program tertulis, namun tidak bisa disimak dalam debat, sekaligus menunjukkan adanya keterbatasan debat.
Satu poin positif terakhir adalah saat mendapat pertanyaan dari Cawapres Gibran Rakabuming Raka terkait Lithium Ferro Phospate (LFP) dan antinikel.
Muhaimin telah belajar dari kesalahan debat sebelumnya sehingga bisa menjawab dengan senyum-senyum sembari mengatakan: “Semua ada etikanya, diskusi ini bukan untuk tebak-tebakan definisi atau singkatan. Kita ini levelnya kebijakan.“
Untuk menutupi minimnya pengetahuan tentang hal tersebut, Muhaimin selanjutnya menjawab bahwa etika lingkungan, yakni keseimbangan manusia dan alam adalah hal yang terpenting. Pengelolaan hilirisasi nikel, saat ini dilakukan dengan ugal-ugalan tanpa mempertimbangkan ekologi dan sosial, akibatnya banyak kecelakaan kerja yang menyebabkan karyawan meninggal.
Walaupun jawabannya tidak mengena, tapi Muhaimin menyampaikan pesan kunci lain tentang keberlanjutan dengan benar.
Beberapa poin negatif dari Muhaimin dalam debat adalah tidak menyinggung soal transisi energi dari energi fosil menuju energi baru terbarukan/energi bersih.
Misalnya, penggunaan mineral kritikal seperti nikel dan lain-lain sebagai elemen penyimpan energi untuk kendaraan listrik, ataupun pemanfaatan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.
Saat menanggapi pertanyaan pakar pun, Muhaimin keliru dengan menyebutkan transisi energi baru terbarukan.
Hal negatif lainnya adalah ia kembali menyerang soal hak guna lahan 500.000 hektare dari seseorang. Sementara jika dirunut ke belakang, hak guna lahan tersebut juga diawali dengan pemberian lampu hijau dari salah satu petinggi negara saat itu, yang sekarang mendukung Anies-Gus Imin.
Kemudian soal pernyataan Muhaimin yang setuju bahwa deforestasi saat ini sama banyaknya dengan periode pemerintahan sebelumnya, ini menimbulkan tanda tanya karena menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang dianggap gagal menangani area kehutanan saat ini berasal dari salah satu partai politik yang mengusung Muhaimin.
Ini seperti menyerang pemerintah sekarang, tapi serangan tersebut mengenai diri sendiri.
Satu hal kecil yang tidak luput dari observasi adalah sentilan Gibran kepada Muhaimin mengenai penggunaan botol plastik dari Muhaimin dan para pendampingnya saat debat yang tidak ramah lingkungan.
Sementara Gibran dan Mahfud sudah memakai botol kaca yang bisa dipakai ulang. Konsistensi dari tulisan, lisan dan perbuatan tentu masih menjadi pertanyaan.
Gibran kembali membawa narasi keberlanjutan dan penyempurnaan. Ia mengangkat hilirasi nikel, timah dan tambang lainnya, pertanian, maritim, digital, mengurangi energi fosil dengan transisi energi (biofuel) menuju energi hijau, mendorong energi baru terbarukan.
Ia juga menyorot kerja sama pentahelix, membuka 19 juta lapangan kerja dengan 5 juta di antaranya green jobs, keberpihakan ke petani melalui ketersediaan pupuk dan bibit, menjaga ketahanan pangan, meningkatkan produktivitas petani melalui mekanisasi, smartfarming buat generasi muda, anggaran dana desa ditingkatkan sesuai kemampuan fiskal, dan menyebut prinsip SDG “Leave no one behind”.
Pidato Gibran saat pembukaan debat masih sesuai dengan visi misi program tertulis Prabowo-Gibran, tetapi sedikit terbolak-balik. Hilirisasi, misalnya, adalah misi ke-5, yakni melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi.
Kemudian ketahanan pangan, petani sejahtera, dan energi hijau sesuai dengan misi ke-2 tentang kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi hijau dan biru.
Sedangkan green jobs selaras dengan misi ke-3 tentang meningkatkan lapangan kerja, dan meningkatkan dana desa sesuai misi ke-6, yakni membangun desa dari bawah.
Satu poin penting dalam hal kesetaraan gender, penguatan SDM, kesehatan yang merupakan misi ke-4, seharusnya bisa juga diangkat dalam debat karena masih terkait dengan pembangunan berkelanjutan, namun hal ini tidak muncul.
Demikian juga beberapa pencapaian pemerintah lainnya terkait Tujuan Pembangunan Berkelanjutan seharusnya juga dapat dipaparkan secara singkat dalam debat.
Poin-poin positif Gibran lainnya adalah menyentil soal penggunaan botol plastik yang tidak ramah lingkungan serta mengangkat LFP vs nikel kepada Muhaimin, menyorot isu greenflation – inflasi akibat naiknya produksi dan kebutuhan mineral kritis seperti lithium, nikel, tembaga pada masa transisi energi, mengangkat legalisasi 110 juta tanah dengan pembuatan sertifikat tanah oleh pemerintah.
Ia hanya menjawab dengan sebagian benar bahwa kebijakan pembangunan rendah karbon terkait dengan pajak karbon, dan carbon capture and storage, namun Muhaimin dan Mahfud juga tidak bisa mengambil sisanya, misalnya, penanaman hutan dan sertifikasi sebagai cadangan karbon, penanaman dan wisata mangrove, pertanian tanpa pupuk kimia.
Hal negatif dari Gibran dalam debat kali ini bermula saat ia mengatakan tidur sewaktu ditanya tentang persiapan debatnya, bertolak belakang dengan kata pepatah bahwa melakukan latihan akan membuat sempurna.
Kemudian narasi keberlanjutan yang dibawa Gibran juga memiliki kelemahan karena salah satu poin debat cawapres adalah pembangungan berkelanjutan atau pembangunan yang memperhitungkan dampak positif dan negatif, bukan semata keberlanjutan atau melanjutkan pembangunan.
Gibran, pada pidato di awal debat, juga tidak memaparkan satu pesan kunci tentang prinsip keberlanjutan, yakni kemampuan generasi sekarang memenuhi kebutuhannya tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Di sinilah letak perbedaan mendasar dengan pidato Muhaimin dan Mahfud. Baru pada sesi berikutnya, Gibran menambahkan keseimbangan antara program pembangunan dengan kelestarian lingkungan, namun tentu bobotnya berbeda dengan sesi pidato.
Soal ketidakakurasian data, tidak hanya Muhaimin, ini juga menjadi catatan negatif bagi Gibran saat ia menyebut 1,5 juta hektare hutan adat sudah diakui. Ternyata salah dan hanya berjumlah 122.648 hektare setelah Kompas.com melakukan pengecekan.
Gimmick ataupun gestur Gibran juga menimbulkan kontroversi karena menggunakan istilah asing dan membuat gestur tubuh tertentu atau nada suara meninggi, yang bisa bermakna ganda, yakni adanya sisi humanis cawapres atau malah sebaliknya terlihatnya sisi ketidakhormatan kepada cawapres lain.
Selain itu, kata-kata kunci dalam visi misi dan program tertulis Prabowo – Gibran, yakni berkelanjutan (ditemukan 15 kali), hijau (11), biru (7), lingkungan (14) dan hak asasi/HAM (7), mayoritas tertinggal dari Anies dan Muhaimin terutama pada elemen berkelanjutan, hijau, lingkungan dan hak asasi/HAM.
Dalam pidato awal debat kali ini, Mahfud membicarakan filosofi hubungan Tuhan, manusia dan alam serta menyebut beberapa kearifan lokal dari Jawa, Bali, Sunda, dan prinsip turun menurun sudah ada untuk melindungi alam, termasuk UUD 1945.
Ia juga membahas keberpihakan kepada petani, nelayan, rakyat, dan alam agar tidak terjadi kerusakan alam.
Kemudian menyorot udara banyak tapi meracuni, investor masuk tapi rakyat menderita, rakyat saling bertengkar karena sumber daya alam (SDA) serta perlunya komitmen dan keberanian untuk menjaga hak-hak rakyat dan alam.
Mahfud membahas pengalamannya sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa ada empat tolok ukurnya untuk mengelola SDA agar berpihak kepada rakyat, yakni pemanfaatan, pemerataan, partisipasi masyarakat dan penghormatan pada kearifan lokal, diakhiri dengan menyentil program food estate yang gagal, merusak lingkungan, sehingga negara rugi.
Pidato Mahfud ini bersifat filosofis dan berbagi pengalaman yang tidak dimiliki cawapres lain, sehingga memberikan kekuatan tambahan terhadap visi misi program tertulis dari Ganjar Pranowo - Mahfud yang telah beredar.
Tercatat beberapa nilai positif dari pengalaman Mahfud sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi maupun Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Misalnya, terkait dengan penambangan, penebangan hutan ilegal dengan memberikan solusi penyelesaian dari hulu ke hilir serta perlunya keterbukaan informasi publik terkait persoalan ini.
Misalnya, data pemilik lahan ilegal harusnya terbuka secara keseluruhan, tapi saat ini masih rahasia dan hanya bisa dibuka bertahap satu persatu saat ada temuan, sehingga penyelesaian berbasis data tidak menyeluruh.
Kelemahan dari pidato Mahfud adalah visi misi program tertulis Ganjar - Mahfud yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan menjadi tidak tersampaikan dengan kuat dalam debat, yakni tentang prioritas misi ke-1 mempercepat manusia unggul (sehat, berpendidikan, tanpa kemiskinan), misi ke-2 tentang percepatan riset dan inovasi, misi ke-4 mempercepat Pembangunan ekonomi, misi ke-5 mempercepat pemerataan ekeonomi, misi ke-7 mempercepat perwujudan lingkugan hidup berkelanjutan.
Dua hal minus lainnya dalam debat adalah Mahfud nampaknya kerap kesulitan beradaptasi untuk memahami istilah dan isu-isu baru yang cepat berkembang. Misalnya, greenflation yang bisa jadi akan menjadi isu penting dalam waktu yang tidak lama lagi di Indonesia.
Satu hal negatif lainnya terkait ketidakakuratan data yang disampaikan Mahfud, yakni deforestasi 12,5 juta lahan hutan selama 10 tahun terakhir. Namun belakangan Kompas.com menemukan data bahwa menurut BPS ada deforestasi 3,84 juta hektare hutan.
Sedangkan dalam visi misi dan program Ganjar – Mahfud yang tertulis, kata kunci berkelanjutan (ditemukan 20 kali), hijau (15), ekonomi biru (9), lingkungan (22) dan hak asasi/HAM (15) relatif berimbang dengan Anies-Muhaimin dan lebih banyak dari Prabowo-Gibran.
Pemimpin selalu memikirkan hal-hal yang bersifat strategis dan tidak mungkin tahu akan semua hal. Namun, mereka pasti mempunyai beberapa keahlian spesifik, serta mau dan mampu belajar secara cepat tentang hal-hal yang tidak atau belum mereka ketahui.
Maka, ekspektasi publik jika menghendaki pemimpin itu tahu segala hal dan bisa menjadi pahlawan setiap waktu tidaklah tepat.
Oleh sebab itu, pemimpin tentunya mempunyai para ahli pendamping yang harus mampu "mengolah" berbagai hal-hal baru, kompleks, maupun teknis menjadi isu-isu penting yang wajib diketahui para pemimpin sekaligus menjadi bahan dasar pengambilan keputusan.
Topik pembangunan berkelanjutan, keberlanjutan (sustainability) sebenarnya merupakan isu lama, namun baru belakangan melesat menjadi arus utama seiring dengan kerangka Environment, Social, and Governance/Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (ESG).
Di sisi lain, pemahaman pemimpin negara, korporasi, organisasi sosial, dan masyarakat umum di Indonesia juga masih terus berkembang tentang hal ini.
Sehingga nantinya, pengalaman para cawapres sebagai pemimpin partai politik, menteri, ataupun wali kota yang akan membantu kepercayaan diri mereka untuk menganalisa dan mengambil keputusan dalam berbagai isu pembangunan berkelanjutan ini.
Oleh karenanya, saat ini, bagi saya, baik Cawapres Muhaimin, Gibran, dan Mahfud, karena masih sama-sama dalam tahap belajar isu pembangunan berkelanjutan, pada akhirnya debat tentang topik pembangunan berkelanjutan ini berakhir imbang. Kelebihan dan kekurangan para cawapres dalam topik ini masih bisa diterima.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya