Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 3 Februari 2024, 12:47 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tanggal 2 Februari 2024, kembali diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia dengan tema Lahan Basah dan Kesejahteraan Manusia atau Wetlands and Human Wellbeing.

Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2024 mengingatkan kita betapa krusialnya lahan basah bagi kesejahteraan manusia, baik ekonomi, kesehatan fisik, mental, maupun keamanan terhadap bencana.

Dengan manfaat yang begitu besar dan luas lahan basah yang diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan, Indonesia berkepentingan besar untuk menjaga kelestarian lahan basah.

Terutama, seiring kondisi banyak lahan basah di negeri ini yang kondisinya mengkhawatirkan oleh karena berbagai faktor, termasuk alih fungsi lahan.

Baca juga: Pemilu 2024: Suara untuk Lingkungan Hidup

Direktur Program Yayasan Kehati Rony Megawanto mengungkapkan, keberadaan lahan basah sangat penting secara ekologis, hidrologis, ekonomi, maupun pengurangan dampak bencana hidrometeorologis di Indonesia yang dari waktu ke waktu intensitasnya cenderung meningkat, seiring intensifnya dampak perubahan iklim.

Oleh karena itu, melalui peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2024 ini, Yayasan Kehati mendesak semua pihak terkait, terutama calon pemimpin Indonesia ke depan untuk lebih mengarusutamakan konservasi lahan basah di negeri ini.

“Sebagai pemegang tampuk kepemimpinan dan penentu kebijakan Indonesia ke depan, para calon pemimpin negara, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif yang saat ini berkontestasi, perlu memasukkan konservasi lahan basah sebagai bagian dari program mereka ke depan,” ujar Rony.

Kebijakan perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan lahan basah yang lestari, tidak hanya akan membantu pembangunan ekonomi berkelanjutan, tetapi juga menjadi penopang kuat untuk mencapai tujuan iklim Indonesia, yaitu berkontribusi megurangi emisi gas rumah kaca pada akhir dekade ini.

Salah satu yang paling menonjol adalah pengembalian eksosistem mangrove dengan luas 1.000 hektar yang telah rusak di Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, akibat alih fungsi lahan menjadi tambak udang.

Baca juga: Kurangi Dampak Lingkungan, Ini 3 Metode Daur Ulang Baterai

Sampai saat ini, hampir setengah dari lahan yang rusak telah kembali tertanam mangrove. Desa Kaliwlingi tidak hanya mendapatkan manfaat ekologis dari sedikit demi sedikit kembalinya ekosistem mangrove.

Masyarakat sekitar juga mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan ekowisata. Mereka mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 1 miliar dari penjualan tiket, kuliner, kerajinan membatik, dan budi daya kepiting bakau.

Sebelum akhirnya tergerus pandemi covid-19 pada tahun 2020, dan mulai berangsur pulih di tahun 2023.

“Tema Hari Lahan Basah Sedunia 2024 sejalan dengan indikator kesuksesan yang kami syaratkan, bahwa program konservasi tidak hanya memberikan dampak ekologi, namun juga harus berdampak secara ekonomi,” lanjut Rony.

Konservasi lahan basah merupakan langkah penting dalam memitigasi dampak perubahan iklim dan dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.

“Tak kalah penting, lestarinya alam basah dapat menjamin pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia," tandas Rony.

Berikut beberapa manfaat lahan basah:

Sebagai Mata Pencaharian

Lahan basah merupakan penggerak ekonomi lokal. Pada umumnya lahan basah dikelola menjadi areal pertanian ataupun perkebunan.

Sebagian besar lahan basah dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, padi, jagung, dan tanaman hortikultura buah (Masganti et al. 2014).

Sekitar 9,53 juta lahan basah di Indonesia berpotensi untuk lahan pertanian, dengan rincian 6 juta ha berpotensi untuk tanaman pangan.

Sebagai Sumber Air Bersih

Kebutuhan air di Indonesia adalah sebanyak 175 miliar kubik per tahun. Jumlah yang dapat dipenuhi dari ketersediaan air yang mencapai 690 miliar kubik per tahun.

Kalimantan dan Papua yang dihuni oleh 13 persen populasi di Indonesia menyediakan sekitar 70 persen sumber daya air.

Papua merupakan provinsi dengan area gambut terluas di Indonesia dengan besaran mencapai 6,3 juta hektar, disusul oleh Kalimantan Tengah dengan luasan mencapai 2,69 juta hektar.

Di Pulau Jawa, Sungai Citarum dan Sungai Ciliwung merupakan dua sumber air minum terbesar. Sayangnya, dua sungai ini juga menyandang predikat sebagai dua sungai paling tercemar di Indonesia.

Sebagai Sumber Makanan Melimpah

Luasan lahan basah di Indonesia menawarkan potensi sumber pangan yang besar. Lahan basah dapat dikelola menjadi areal perikanan, pertanian ataupun perkebunan.

Misalnya ekosistem dataran banjir sangat penting bagi kegiatan perikanan darat. Lahan rawa pasang surut juga sudah lama dikenal sebagai lahan budi daya pertanian yang potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil pangan seperti tanaman padi, palawija, sayur mayur, buah-buahan.

Sejak lama juga masyarakat/petani rawa mengembangkan berbagai tanaman budi daya, khususnya tanaman pangan seperti padi, palawija, ubi, talas, sagu dan lainnya.

Mitigasi Bencana

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi atau bencana yang berhubungan dengan aktivitas cuaca dan air.

Fakta-fakta di lapangan membuktikan bahwa lahan basah dengan kondisi yang masih baik dapat mencegah bencana seperti kekeringan, banjir, kebakaran hutan, dan tsunami.

Ekosistem mangrove dengan ketebalan 200 meter serta kerapatan 60 batang dan diameter 15 cm dapat meredam energi gelombang tsunami hingga 50 persen.

Lahan basah daratan setiap hektarnya mampu menyerap 3,7 juta gallon air banjir, dengan demikian lahan basah mengurangi banjir dan meredakan kekeringan.

Sebagai Penyimpan Karbon

Lahan gambut menyimpan karbon dengan jumlah yang sangat besar. Diperkirakan karbon yang tersimpan di dalam lahan gambut di Indonesia sebesar 44,5 Gt, dengan luasan lahan gambut sebesar 20,74 juta ha (Rieley et al .2008).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021 menyatakan bahwa total luas ekosistem mangrove Indonesia mencapai 3,36 juta hektar atau setara dengan 20,37 persen dari total luas mangrove dunia.

Pada tahun 2015, Penelitian Murdiyarso dan kawan-kawan menyebutkan bahwa Mangrove Indonesia mampu menyimpan 3,14 miliar ton karbon atau sepertiga dari stok karbon pesisir global. Jumlah itu belum termasuk ekosistem padang lamun, makroalga, hingga mikroalga.

Sumber Keanekaragaman Hayati

Lahan basah merupakan wilayah dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya.

Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi seperti hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput, dan lain-lain.

Belum lagi ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayatinya sendiri yang juga sangat tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas.

Sekitar 47 jenis di antaranya merupakan tumbuhan spesifik hutan mangrove. Terkait satwa, Setidaknya terdapat 200 spesies burung yang bergantung pada ekosistem mangrove, atau sekitar 13 persen dari seluruh burung yang ada di Indonesia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
LSM/Figur
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
LSM/Figur
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
LSM/Figur
KUR UMKM Korban Banjir Sumatera Akan Diputihkan, tapi Ada Syaratnya
KUR UMKM Korban Banjir Sumatera Akan Diputihkan, tapi Ada Syaratnya
Pemerintah
Kementerian UMKM Sebut Produk China Lebih Disukai Dibanding Produk Indonesia, Ini Sebabnya
Kementerian UMKM Sebut Produk China Lebih Disukai Dibanding Produk Indonesia, Ini Sebabnya
Pemerintah
Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit
Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Perubahan Iklim Berpotensi Mengancam Kupu-kupu dan Tanaman
Perubahan Iklim Berpotensi Mengancam Kupu-kupu dan Tanaman
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau