JAKARTA, KOMPAS.com - Peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru adalah dua hal yang harus diprioritaskan Presiden terpilih.
Peneliti Muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Natasya Zahra mengatakan, kedua aspek tersebut saling berkesinambungan dan harus sama-sama diatasi. Tanpa kesejahteraan, mengembangkan potensi guru menjadi sulit.
"Sama halnya, mengembangkan kompetensi guru menjadi persyaratan untuk mendapatkan tunjangan tertentu yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan guru," jelas Natasya, Kamis (8/2/2024).
Ia menambahkan, keduanya merupakan isu penting dan harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Baca juga: Sambut Bonus Demografi, Data Pendidikan dan Ketenagakerjaan Harus Sinkron
Kompetensi guru penting untuk diprioritaskan karena profesionalisme guru dan kompetensi pedagogik masih terkendala sejumlah faktor, seperti minimnya jumlah guru yang bersertifikat.
Data Sekretariat Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan tahun 2020 menunjukkan, sekitar 300 ribu guru PNS belum berstatus sarjana.
Jika digabungkan, jumlah guru PNS dan non-PNS menunjukkan hampir 50 persen yang belum bersertifikat, padahal sertifikat adalah bukti kompetensi dan profesionalisme guru.
Tidak hanya itu, data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2020 menunjukkan masih banyak hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada masing-masing daerah yang belum merata dan masih di bawah rata-rata skor.
Sebagai gambaran, rata-rata UKG Nasional tahun 2020 adalah sebesar 53,02 persen, masih di bawah standar yang ingin dicapai yaitu 55 persen.
Rendahnya kompetensi guru juga berpengaruh pada kualitas pendidikan yang berkaitan dengan kapasitas guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas.
Selain itu, perkembangan zaman juga semakin menuntut guru untuk mengembangkan kompetensi di bidang tertentu, salah satunya dalam mengoperasikan teknologi.
Baca juga: Anies: Pengeluaran untuk Pendidikan Bukan Biaya, tapi Investasi
Selanjutnya, kesejahteraan guru juga perlu diprioritaskan. Survei World Bank 2020 melaporkan, kesejahteraan rendah (gaji rendah) berdampak langsung pada tingkat kehadiran guru di kelas.
Jika gaji rendah, guru akan lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan sampingan. Hal ini dapat berdampak pada kualitas pendidikan yang diterima siswa karena minimnya pendampingan oleh guru.
Faktanya, guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki tingkat kehadiran yang lebih tinggi dari guru non-PNS, karena tunjangan kinerja yang akan mereka dapatkan juga dinilai dari tingkat kehadiran di kelas.
Pemerataan kesejahteraan, khususnya untuk guru honorer, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta juga masih perlu menjadi perhatian.
Selama ini, anggaran pemerintah masih terfokus pada guru honorer di sekolah negeri yang kemudian berpotensi menimbulkan ketimpangan distribusi guru pada jenis sekolah swasta.
Baca juga: Solusi Ganjar Atasi Mahalnya UKT, Setop Liberalisasi Pendidikan
Belum memadainya kesejahteraan juga berdampak pada distribusi guru. Tidak jarang proses distribusi guru ke daerah tertinggal, terdepan dan terluar atau 3T tidak berjalan lancar, karena keengganan mereka untuk meninggalkan daerah asalnya.
Namun, menaikkan gaji guru juga bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi ketidakhadiran guru di kelas.
Beberapa solusi dapat diterapkan berkaitan dengan manajemen sekolah dan pengelolaan tenaga kerja yang efektif.
Misalnya, penguatan prosedur seleksi dan pengembangan kompetensi kepala sekolah, menyediakan dukungan dan kebijakan yang jelas bagi sekolah dalam menangani ketidakhadiran guru dan mengelola guru pengganti.
Mendorong kompetensi guru dan kesejahteraan guru butuh koordinasi erat antar semua pemangku kepentingan dari level pusat, daerah (pemerintah daerah, dinas pendidikan) hingga ke level sekolah masing-masing karena kewajiban mengelola tenaga pendidikan ada di semua tingkat.
Baca juga: Bakrie Center Foundation Bakal Kembangkan Pendidikan di IKN
Pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar kualitas guru dan pengajaran serta rekrutmen guru menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pemerintah daerah turut berperan dalam mengadakan pelatihan, penempatan guru. Sementara di level sekolah, kepala sekolah berperan dalam mengelola tenaga pendidik dengan mengembangkan berbagai rencana professional development, mengawasi kinerja guru, dan memberikan contoh baik dalam mengajar dan hadir di sekolah.
Otonomi daerah mendorong pemerintah daerah dan unit sekolah untuk bersinergi dalam usaha mensejahterakan dan memperbaiki kualitas guru.
Desentralisasi diharapkan dapat memicu inisiatif pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang relevan bagi daerahnya dan memberikan kewenangan lebih bagi sekolah dalam mengelola tenaga kerjanya agar lebih berkualitas.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya