KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menyampaikan beberapa hal yang dilakukan Indonesia untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal.
Berdasarkan perhitungan IESR, kata Fabby, bauran energi terbarukan di Indonesia perlu mencapai 40-45 persen untuk mencapai target NZE tersebut.
Dengan target angka tersebut, ia mengaku memang tak mudah. Sebab, bertahun-tahun sebelumnya Indonesia belum pernah mencapai angka 15 persen energi baru terbarukan (EBT).
Hal ini menjadi penyebab wacana Dewan Energi Nasional (DEN) akan merevisi target bauran EBT dari 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2025.
Baca juga: Target Bauran EBT Harusnya Ditambah, Bukan Dikurangi
"Kalau sekarang kita mau mencapai 23 persen, itu artinya harus ngejar, harus berlari. Dari hitung-hitungan kami, untuk mencapai 23 persen, perlu menambah pembangkit listrik sekitar 10-11 giga watt (GW), itu yang perlu ditambah," ujar Fabby dalam webinar Pojok Energi-Sinyal "Edge" Transisi Energi, Rabu (7/2/2024).
Oleh sebab itu, Indonesia perlu memperbanyak mengurangi energi fosil dan mengganti dengan sumber energi baru dan terbarukan.
"Kalau kita ingin menaikkan bauran EBT 23 persen, kuncinya EBT ditambah, bauran energi fosilnya harus dikurangi," imbuh dia.
Ia menyebut pihaknya optimis pemerintah dapat membangun lebih banyak lagi pembangkit listrik energi terbarukan.
Fabby mengatakan, meski memakan waktu cukup lama, sudah ada beberapa proyek pembangkit listrik yang sejak dua hingga tiga tahun lalu kesulitan pendanaan. Dengan perbaikan pembiayaan, proyek tersebut bisa terus dikembangkan.
"Kedua, yang harus dioptimalkan adalah PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Kenapa? Selain sumber energinya paling banyak di Indonesia, PLTS ini juga sangat fleksibel," terangnya.
PLTS dikatakan fleksibel karena dapat dipasang di berbagai tempat, seperti di atas atap, tanah, di atas air, bahkan di lahan pertanian. Selain itu, harganya juga semakin kompetitif.
Baca juga:
"Kalau hari ini sudah ada target 3,6 GW PLTS atap sebagai program strategis nasional sampai 2025, itu ditetapkan pada 2021, jadi kalau misalnya ini diakselerasi, luar biasa sekali," kata Fabby.
Menurutnya, berdasarkan data IESR pada 2014, dengan fleksibilitas PLTS ada potensi pembangkit listrik ini dibangun di rumah-rumah seluruh Indonesia. Hingga 2030, ia menghitung bisa tercapai setidaknya 15 sampai 20 GW.
"Siapa yang investasi? Itu enggak perlu APBN, masyarakat bisa pasang. Yang perlu didorong pemerintah, dimudahkan aja pasang PLTS atap, jangan dipersulit. Kelas menengah di perkotaan banyak mampu pasang itu," ujarnya.
Ia menambahkan, proyek PLTS skala besar seperti PLTS terapung juga sebisa mungkin dikebut sampai tahun 2025.
Langkah lainnya, kata Fabby, dengan memperbanyak pemanfaatan co firing biomassa, yang sudah mencapai 1 juta ton pada 2023. Untuk mengganti setidaknya 10 persen energi, co firing biomassa harus diupayakan mencapai 12 juta ton.
"Ini mungkin naikin sampai 2025, bisa enggak 5 juta ton? Kalau ini sudah lumayan, karena apa, berarti batu baranya berkurang, energi terbarukannya naik. Jadi biomass lewat co firing biomassa sepanjang sumber-sumbernya sustainable itu harus didorong," papar dia.
Terakhir, Fabby menegaskan pentingnya menurunkan PLTU yang sudah tua dan tidak efisien. PLTU-PLTU tersebut bisa dipensiunkan dini hingga 2025.
"IESR punya hitung-hitungan, ada ada 4,8 GW (PLTU) yang berpotensi dipensiunkan dini. Kalau itu dilakukan, plus kita tidak membangun PLTU baru sampai 2030, saya rasa target 23 persen bisa tercapai, asalkan kita istiqomah," pungkasnya.
Baca juga: Pensiun Dini PLTU Dianggap Warga Lokal Lebih Berdampak Positif
Baca juga: Pengamat: Belum Ada Peta Jalan Komprehensif Pensiun Dini PLTU
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya