KOMPAS.com - Pengangkutan karbon lintas negara dalam implementasi penangkap dan penyimpan karbon berpotensi mengalami kebocoran.
Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian serius agar menjadi jelas pencatatan karbon yang lepas saat proses pengangkutan lintas negara.
Sebelumnya, Indonesia dan Singapura meneken kerja sama kegiatan penangkap dan penyimpan karbon listas batas atau carbon capture and storage (CCS) cross border.
Baca juga: Perpres Disahkan, Indonesia-Singapura Langsung Kerja Sama Penyimpanan Karbon Lintas Batas
Kerja sama tersebut tertuang dalam Letter of Intent (LOI) yang diteken selang beberapa pekan usai pemerintah mengundangkan Peraturan Presiden (Perpres) No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Untuk melaksanakan kerja sama dalam perjanjian tersebut, Singapura dan Indonesia membentuk kelompok kerja yang terdiri dari pejabat pemerintah.
Kelompok kerja tersebut akan bekerja sama dalam perjanjian bilateral yang mengikat secara hukum guna memungkinkan transportasi dan penyimpanan lintas batas karbon dioksida antara Singapura dan Indonesia.
Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengatakan, kebocoran karbon saat proses pengangkutan harus menjadi kekhawatiran bersama.
Baca juga: Jejak Karbon Urban Farming 6 Kali Lipat Lebih Besar dari Pertanian Konvensional
Pasalnya, dalam Pasal 47 ayat 4 Perpres No 14 Tahun 2024 disebutkan, apabila terjadi kebocoran selama pengangkutan karbon lintas negara, kebocoran tersebut tidak menambah inventaris gas rumah kaca Indonesia.
"Ini menjadi abu-abu, jika ada leaking (kebocoran) tanggung jawab karbonnya milik siapa," kata Grita kepada Kompas.com, Jumat (16/2/2024).
Dia menambahkan, harus ada peraturan yang jelas untuk membebankan tanggung jawab karbon bila terjadi kebocoran, apakah akan masuk ke pencatatan Indonesia atau Singapura.
Di samping itu, implementasi penangkap dan penyimpan karbon juga dikhawatirkan bakal melanggengkan pengembangan energi fosil.
Baca juga: Sadar dalam Bahaya, Selebriti Dunia Borong Kredit Hapus Jejak Karbon
Padahal, semua negara, terutama negara maju, harusnya lebih proaktif dalam penurunan emisi dan transisi energi.
"Sekarang yang dibutuhkan penurunan emisi yang signifikan secara global. Kita harus (mencapai) peak emmission (puncak emisi) pada 2025 dan net zero (netral karbon) pada pertengahan abad," tutur Grita.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan, melalui mekanisme pengakutan lintas negara, Indonesia hanya akan dijadikan pencucian atau pemutihan karbon bagi negara-negara lain terutama negara maju
"CCS dan juga kemudian pasar karbon yang integritasnya sangat dipertanyakan dapat dilihat sebagai bagian dari skema solusi palsu transisi energi pemerintahan Jokowi," kata Ashov kepada Kompas.com, Jumat (1/2/2024).
Baca juga: CCS Lintas Negara Bikin Indonesia Tempat Pemutihan Karbon dari Negara Lain
Dia menambahkan, dengan adanya Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tersebut, komitmen dan keseriusan pemerintahan untuk melakukan transisi energi yang berkeadilan semakin tidak terlihat.
Padahal, kata Ashov, transisi energi mendesak dilakukan karena dampak krisis iklim sudah semakin dirasakan masyarakat luas.
"Secara teknologi dia belum terbukti efektif untuk mengurangi emisi, mengonsumsi energi yang besar, serta sangat mahal," ucap Ashov.
Dalam hal biaya teknologi, ongkos yang mahal tersebut akan ditanggung oleh negara, oleh masyarakat. Sementara keuntungannya hanya dirasakan oleh industri fosil.
Baca juga: Perpres CCS Diteken, Atur Transportasi Karbon Lintas Negara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya