KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 yang mengatur implementasi penangkap dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) di Indonesia.
Dalam Perpres tersebut, pemerintah memberikan landasan hukum untuk kegiatan penangkap, transportasi, dan penyimpanan karbon di Indonesia.
Perpres Nomor 14 Tahun 2024 menyebutkan, aturan ini dimaksudkan untuk memenuhi target iklim dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dan mencapai netralitas karbon atau net zero emission (NZE).
Baca juga: Industri Pangan Didorong Capai Netral Karbon
"Teknologi penangkap dan penyimpanan karbon memiliki peranan penting dalam mereduksi emisi karbon pada kegiatan penghasil emisi," bunyi Perpres yang ditandatangani Jokowi pada 30 Januari 2024 ini.
Perpres tersebut juga mengatur izin eksplorasi dan izin operasi penerapan teknologi CCS.
Teknologi CCS dimaksudkan untuk menangkap emisi karbon agar tak lepas ke atmosfer dan menyimpannya zona target injeksi (ZTI).
ZTI terletak di bawah tanah yang mencakup lapisan zona penyimpanan, lapisan zona penyangga, lapisan zona kedap, dan perangkap geologi.
Regulasi tersebut turut mengatur penerapan dan pengembangan CCS di luar wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas).
Baca juga: Garuda Indonesia Beli Sertifikat Perdana di Bursa Karbon
Selain itu, Perpres Nomor 14 Tahun 2024 juga mengatur mekanisme transportasi atau pengangkutan karbon lintas negara.
Perpres itu juga menyebutkan, Indonesia memiliki potensi besar sebagai wilayah penyimpanan karbon dan berpotensi menjadi lokasi penangkapan di tingkat nasional dan regional.
"Sehingga meningkatkan daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari proses bisnis penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon," tulis beleid itu.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Jodi Mahardi menuturkan, mekanisme lintas batas diperlukan untuk bisa mencapai target Indonesia menjadi pusat CCS regional.
"Tapi kenapa kita membuka untuk cross border (lintas batas) adalah untuk mencapai aspirasi kita menjadi regional hub untuk jadi CCS," kata Jodi, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (23/1/2024).
Baca juga: 85 Desa Energi Berdikari Pertamina Sukses Tekan 729.000 Ton Emisi Karbon
Mekanisme lintas batas diharapkan akan membantu investasi masuk sehingga mengurangi biaya pengembangan dan mendorong industri dalam negeri memanfaatkan teknologi tersebut.
"Tentunya dengan melakukan membuka cross border, ini akan membantu investasi masuk untuk bisa mengurangi biaya dan nanti pada akhirnya tentunya industri kita bisa memanfaatkan CCS juga dengan biaya yang lebih rendah atau affordable (terjangkau)," tutur Jodi.
Jodi menambahkan, potensi pengembangan CCS paling besar di Indonesia berada di depleted reservoir dan saline aquifer yang berada di luar wilayah kerja migas.
Untuk diketahui, depleted reservoir adalah sumur migas yang mengalami penurunan produksi serta tidak dapat diproduksikan lagi secara ekonomis dengan teknologi yang ada saat ini.
Sedangkan saline aquifer adalah sumur bersalinitas tinggi sebagai tempat penyimpanan gas karbon dioksida yang dianggap cukup aman.
Baca juga: Blue Bird Pangkas 27.000 Ton Emisi Karbon Selama Tahun 2023
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya