KOMPAS.com - Implementasi penangkap dan penyimpan karbon lintas batas dikhawatirkan membuat Indonesia hanya menjadi tempat "pemutihan" karbon bagi negara lain.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perpres Nomor 14 Tahun 2024 yang mengatur implementasi penangkap dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) di Indonesia.
Dalam Perpres tersebut, pemerintah memberikan landasan hukum untuk kegiatan penangkap, transportasi, dan penyimpanan karbon di Indonesia.
Baca juga: Perpres CCS Diteken, Atur Transportasi Karbon Lintas Negara
Selain itu, Perpres Nomor 14 Tahun 2024 juga mengatur mekanisme transportasi atau pengangkutan karbon lintas negara.
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan, melalui mekanisme lintas negara, Indonesia hanya akan dijadikan pencucian atau pemutihan karbon bagi negara-negara lain terutama negara maju
"CCS dan juga kemudian pasar karbon yang integritasnya sangat dipertanyakan dapat dilihat sebagai bagian dari skema solusi palsu transisi energi pemerintahan Jokowi," kata Ashov kepada Kompas.com, Jumat (1/2/2024).
Dia menambahkan, dengan adanya Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tersebut, komitmen dan keseriusan pemerintahan untuk melakukan transisi energi yang berkeadilan semakin tidak terlihat.
Padahal, kata Ashov, transisi energi mendesak dilakukan karena dampak krisis iklim sudah semakin dirasakan masyarakat luas.
Baca juga: Industri Pangan Didorong Capai Netral Karbon
"Secara teknologi dia belum terbukti efektif untuk mengurangi emisi, mengonsumsi energi yang besar, serta sangat mahal," ucap Ashov.
Dalam hal biaya teknologi, ongkos yang mahal tersebut akan ditanggung oleh negara, oleh masyarakat. Sementara keuntungannya hanya dirasakan oleh industri fosil.
"Tidak hanya komitmen dan keseriusan untuk transisi berkeadilan pemerintahan Jokowi yang dipertanyakan, tapi juga keberpihakan, terutama pada rakyat yang rentan terpapar dampak krisis iklim," tutur Ashov.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Jodi Mahardi menuturkan, mekanisme lintas batas diperlukan untuk bisa mencapai target Indonesia menjadi pusat CCS regional.
"Tapi kenapa kita membuka untuk cross border (lintas batas) adalah untuk mencapai aspirasi kita menjadi regional hub untuk jadi CCS," kata Jodi, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (23/1/2024).
Baca juga: Garuda Indonesia Beli Sertifikat Perdana di Bursa Karbon
Mekanisme lintas batas diharapkan akan membantu investasi masuk sehingga mengurangi biaya pengembangan dan mendorong industri dalam negeri memanfaatkan teknologi tersebut.
"Tentunya dengan melakukan membuka cross border, ini akan membantu investasi masuk untuk bisa mengurangi biaya dan nanti pada akhirnya tentunya industri kita bisa memanfaatkan CCS juga dengan biaya yang lebih rendah atau affordable (terjangkau)," tutur Jodi.
Jodi menambahkan, potensi pengembangan CCS paling besar di Indonesia berada di depleted reservoir dan saline aquifer yang berada di luar wilayah kerja migas.
Untuk diketahui, depleted reservoir adalah sumur migas yang mengalami penurunan produksi serta tidak dapat diproduksikan lagi secara ekonomis dengan teknologi yang ada saat ini.
Sedangkan saline aquifer adalah sumur bersalinitas tinggi sebagai tempat penyimpanan gas karbon dioksida yang dianggap cukup aman.
Baca juga: Jejak Karbon dan Pola Makan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya