KOMPAS.com - Sebuah studi terbaru menunjukkan fakta mengejutkan dari urban farming, atau kegiatan pertanian di perkotaan dengan memanfaatkan lahan terbatas.
Menurut studi tersebut, dilansir dari Anthropocene, Jumat (9/2/2024), rata-rata urban farming memiliki jejak karbon enam kali lebih besar dibandingkan pertanian konvensional.
Kendati demikian, data-data penelitian juga menunjukkan bahwa secara individual, banyak urban farming yang lebih baik bagi bumi dibandingkan pertanian konvensional.
Sebab, para petani di wilayah tersebut telah mengambil langkah-langkah tertentu yang jika diterapkan secara luas, dapat mengubah urban farming menjadi sebuah kekuatan yang membawa kebaikan.
Baca juga: Indonesia-Jepang Kolaborasi Olah Limbah Pertanian Jadi Biofuel dan Biokimia
Adapun peneliti utama temuan ini, Jason Hawes, mengatakan bahwa studi tersebut tidak menyerukan diakhirinya urban farming.
“Sebaliknya, kami ingin memberikan bukti kuantitatif mengenai jejak karbon urban farming, yang pada gilirannya memungkinkan kami mengidentifikasi cara untuk mengurangi dampak terhadap iklim," ujar Hawes.
Sebagai informasi, urban farming biasanya dianggap unggul karena keanekaragamannya, rendahnya tingkat penggunaan pupuk dan pestisida, serta berkurangnya emisi transportasi pangan.
Urban farming sering dilihat sebagai harapan untuk melawan model pertanian konvensional yang monokultur, di mana makanan biasanya ditanam bermil-mil jauhnya dari populasi yang menjadi sumber makanannya.
Karena kelestarian lingkungan adalah motivasi utama para pekebun kota dalam menanam pangan, para peneliti merasa perlu untuk benar-benar menguji kredibilitas keberlanjutan ini.
Dalam melakukan penelitian, mereka bekerja sama dengan ilmuwan dan warga untuk mengumpulkan data dari 73 pertanian di perkotaan, yang tersebar di lima negara yaitu Prancis, Jerman, Polandia, Amerika Serikat, dan Inggris.
Baca juga: Tarik Minat Pemuda, Pertanian Dinilai Perlu Masuk Kurikulum SD-SMA
Sampel ini mencakup berbagai jenis pertanian, mulai dari petak rumah kecil dan kebun masyarakat tempat para peserta menanam pangan untuk konsumsi pribadi, hingga pertanian kota di mana pangan ditanam untuk keuntungan komersial.
Untuk masing-masing proses tersebut, para peneliti menghitung emisi karbon dari berbagai input, mulai dari bahan yang digunakan untuk membuat bedengan, hingga pupuk dan kompos.
Jejak keseluruhan dari masing-masing perkebunan kemudian dinyatakan sebagai ukuran per standar porsi buah dan sayuran, dan kemudian dibandingkan dengan ukuran yang sama pada pertanian konvensional.
Dari sampel 73 lokasi, mereka menemukan bahwa rata-rata jejak karbon pertanian perkotaan lebih besar dibandingkan pertanian konvensional, hingga enam kali lipat.
Atau setara dengan 420 gram CO2 per porsi makanan dari pertanian perkotaan, dibandingkan 70 gram per porsi yang dihasilkan dari pertanian konvensional.
Dalam angka tersebut, sumber karbon terbanyak berasal dari infrastruktur yang diperlukan untuk membangun urban farming, seperti bedengan, gudang kompos, dan pertamanan.
“Hal ini sebagian disebabkan oleh relatif sementaranya urban farming. Namun hal ini juga muncul dari sifat lokasi penanaman pangan di perkotaan: terdapat lebih banyak kayu dan batu baru yang ditanam di taman perkotaan dibandingkan dengan rata-rata lahan terbuka besar di pedesaan,” jelas Hawes.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya