JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia telah bertekad untuk mencapai bebas emisi atau net zero emission (NZE) pada tahun 2050 untuk ketenagalistrikan dan 2060 untuk energi lainnya.
Untuk mencapai target tersebut, Indonesia telah menyusun program jangka panjang berupa transisi energi yang berkeadilan. Salah satu program transisi energi berupa penutupan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Baca juga: Pemilik PLTU Diminta Perlu Ikut Serta dalam Pembiayaan Pensiun Dini
Lembaga riset nirlaba bidang ekonomi lingkungan hidup, Transisi Bersih, menyebut adanya beberapa alasan kuat yang menambah urgensi pensiun dini PLTU, di samping mencapai bebas emisi.
“Penutupan dini PLTU menjadi strategi penting untuk mengejar komitmen bebas emisi,” ujar Analis Transisi Bersih, Anindya Putri, saat pemaparan hasil riset "Standar Keekonomian dan Keadilan Penutupan Dini PLTU" di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Menurutnya, Indonesia memiliki sedikitnya tiga alasan kuat untuk menambah urgensi pensiun dini PLTU.
Pertama, kata dia, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia secara umum berlebihan.
Dari data statistik PLN tahun 2022, daya mampu pembangkit PLN Jawa Bali mencapai 42,7 GW sementara beban puncak turun 6,28 persen menjadi 24,2 GW.
Sehingga ada selisih 18,5 GW atau sekitar 43 persen reserve margin. Sementara, reserve margin jaringan lainnya rata-rata berkisar antara 30 persen-70 persen.
Baca juga: China Tambah Puluhan PLTU Batu Bara, Target Iklim Bakal Meleset
Perlu diketahui, sekitar 70 persen-80 persen dari reserve margin tersebut menggunakan klausul take or pay, sehingga PLN harus membayar pembangkit listrik tersebut, baik digunakan atau tidak.
“Untuk setiap gigawatt kapasitas pembangkit yang tidak terpakai tersebut, PLN harus membayar antara Rp 2 triliun-Rp 3 triliun per tahun,” ujarnya.
Selain berbiaya mahal, kelebihan cadangan ini secara tidak langsung menutup peluang pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan.
Kedua, dalam beberapa tahun terakhir kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia mengalami degradasi secara signifikan.
Penurunan kualitas udara ini berhubungan erat dengan beroperasinya PLTU-PLTU raksasa di pulau Jawa dan kawasan pusat penghasil batu bara yang baru beroperasi dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Karyawati PLTU Paiton Olah Minyak Jelantah Jadi Lilin dan Sabun
Ketiga, sebagian besar PLTU yang beroperasi di Indonesia baru dibangun karena Program 35.000 MW. Artinya, masa operasional PLTU-PLTU baru tersebut masih panjang.
“Penutupan dini PLTU adalah hal baru di Indonesia. Karena itu, kita perlu pilot project yang kecil dulu untuk mencari best practice. Setelah kita dapat pengalaman, baru kita menutup yang besar-besar,” ujar Anindya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya