Oleh: Yasir Arafat, S.Si., M.Si.*
MASJID itu kini tak lagi digunakan warga untuk beribadah. Bangunannya telah hancur terendam dan terus-menerus dihantam gelombang lautan. Bagian yang tersisa hanya dinding lapuk dan atap yang tak lagi berkubah.
Sayangnya, ini bukan cuplikan film azab atau kisah fiksi apokalips akhir zaman. Ini adalah fakta empiris kondisi terkini yang dapat diamati di Penjaringan, Jakarta Utara.
Masjid Waladuna di Muara Baru itu tenggelam disebabkan naiknya permukaan laut seiring dengan terjadinya amblesan tanah (land subsidence) di sepanjang kawasan pesisir ibu kota.
Para ahli mencatat dalam empat dekade terakhir, laju penurunan muka tanah di Jakarta sebesar 15 cm per tahun.
Sementara itu, kenaikan permukaan air laut di berbagai belahan dunia rata-rata telah mencapai 20 cm.
Kondisi itu disebabkan mencairnya es di kutub dan memuainya perairan samudera (ocean water expansion) sebagai dampak dari pemanasan global.
Pada tahun 2023, suhu bumi naik 1,4 derajat celcius atau mendekati proyeksi 1,5 derajat pada tahun 2100.
Fakta perubahan iklim telah memiliki legitimasi ilmiah yang sangat kuat dari berbagai disiplin, terutama fisika.
Dalam artikelnya berjudul “Climate Change is Physics” (2022), Gabriele C. Hegerl, seorang pakar geosains dari University of Edinburgh menegaskan bahwa pertanyaan ‘apakah Anda percaya pada pemanasan global?’ akhirnya menjadi meaningless, tidak relevan, alias ketinggalan zaman.
Peneguhan prinsip science-based policy terhadap isu megatrend ini mendapatkan momentumnya ketika Nobel Fisika tahun 2021 dianugerahkan kepada saintis yang sumbangsih keilmuannya mengenai perubahan iklim.
Syukuro Manabe dan Klaus Hasselmann, dua orang klimatolog diberi penghargaan bergengsi tersebut berkat keberhasilan mereka dalam melakukan pemodelan numerik terhadap dinamika fluida pada lapisan atmosfer dan laut sehingga mampu mengukur variabilitas dan memprediksi pemanasan global yang sangat kompleks.
Ini adalah penghargaan nobel fisika pertama dalam sejarah yang disematkan kepada ilmuwan iklim.
Dua abad yang lalu, ilmuwan telah mulai memperhatikan fenomena perubahan iklim yang dikembangkan dari Teori Fisika Iklim.
Atensi ilmuwan terhadap climate change dirintis oleh Joseph Fourier, seorang fisikawan dan matematikawan Perancis pada 1827.
Fourier seakan-akan mendapatkan “nubuwah saintifik” ketika menangkap tanda-tanda bumi yang terasa lebih hangat, lalu muncul gagasan awal dari apa yang sekarang dikenal sebagai “Efek Rumah Kaca”.
Konsep ERK dibuktikan di laboratorium oleh John Tyndall pada 1861, dan dipublikasikan pertama kali pada 1901 oleh Nils Gustaf Ekholm.
Setengah abad berikutnya, pada 1956 seorang fisikawan dari Kanada, Gilbert Plass secara akurat sukses menghitung “radiative forcing” (dinyatakan dalam watt/m2) yang merepresentasikan ketidakseimbangan energi di atmosfer.
Dalam buku “The Physics of Climate Change”, Lawrence M. Krauss (2021) menyatakan bahwa radiative forcing menjadi tool standar bagi ilmuwan untuk mengukur perubahan penyerapan sinar inframerah di atmosfer dan pengaruhnya terhadap keseimbangan antara energi radiasi matahari yang masuk dan radiasi yang keluar dari bumi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya