Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kualitas Udara Menurun, Salah Satu Alasan Pentingnya Pensiun Dini PLTU

Kompas.com - 28/02/2024, 21:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia telah bertekad untuk mencapai bebas emisi atau net zero emission (NZE) pada tahun 2050 untuk ketenagalistrikan dan 2060 untuk energi lainnya.

Untuk mencapai target tersebut, Indonesia telah menyusun program jangka panjang berupa transisi energi yang berkeadilan. Salah satu program transisi energi berupa penutupan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Baca juga: Pemilik PLTU Diminta Perlu Ikut Serta dalam Pembiayaan Pensiun Dini

Lembaga riset nirlaba bidang ekonomi lingkungan hidup, Transisi Bersih, menyebut adanya beberapa alasan kuat yang menambah urgensi pensiun dini PLTU, di samping mencapai bebas emisi.

“Penutupan dini PLTU menjadi strategi penting untuk mengejar komitmen bebas emisi,” ujar Analis Transisi Bersih, Anindya Putri, saat pemaparan hasil riset "Standar Keekonomian dan Keadilan Penutupan Dini PLTU" di Jakarta, Rabu (28/2/2024).

Urgensi pensiun dini PLTU

Menurutnya, Indonesia memiliki sedikitnya tiga alasan kuat untuk menambah urgensi pensiun dini PLTU.

Pertama, kata dia, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia secara umum berlebihan.

Dari data statistik PLN tahun 2022, daya mampu pembangkit PLN Jawa Bali mencapai 42,7 GW sementara beban puncak turun 6,28 persen menjadi 24,2 GW.

Sehingga ada selisih 18,5 GW atau sekitar 43 persen reserve margin. Sementara, reserve margin jaringan lainnya rata-rata berkisar antara 30 persen-70 persen.

Baca juga: China Tambah Puluhan PLTU Batu Bara, Target Iklim Bakal Meleset

Perlu diketahui, sekitar 70 persen-80 persen dari reserve margin tersebut menggunakan klausul take or pay, sehingga PLN harus membayar pembangkit listrik tersebut, baik digunakan atau tidak.

“Untuk setiap gigawatt kapasitas pembangkit yang tidak terpakai tersebut, PLN harus membayar antara Rp 2 triliun-Rp 3 triliun per tahun,” ujarnya.

Selain berbiaya mahal, kelebihan cadangan ini secara tidak langsung menutup peluang pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan.

Kedua, dalam beberapa tahun terakhir kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia mengalami degradasi secara signifikan.

Penurunan kualitas udara ini berhubungan erat dengan beroperasinya PLTU-PLTU raksasa di pulau Jawa dan kawasan pusat penghasil batu bara yang baru beroperasi dalam beberapa tahun terakhir.

Baca juga: Karyawati PLTU Paiton Olah Minyak Jelantah Jadi Lilin dan Sabun

Ketiga, sebagian besar PLTU yang beroperasi di Indonesia baru dibangun karena Program 35.000 MW. Artinya, masa operasional PLTU-PLTU baru tersebut masih panjang.

“Penutupan dini PLTU adalah hal baru di Indonesia. Karena itu, kita perlu pilot project yang kecil dulu untuk mencari best practice. Setelah kita dapat pengalaman, baru kita menutup yang besar-besar,” ujar Anindya.

Standar penutupan dini PLTU

Mengingat urgensi penutupan PLTU tersebut, Transisi Bersih merilis hasil riset "Standar Keekonomian dan Keadilan Penutupan Dini PLTU" pada Rabu (28/2/2024).

Secara umum, laporan itu memaparkan program transisi energi dan penutupan dini PLTU menggunakan dua prinsip dasar, yaitu keekonomian dan keadilan.

Prinsip keekonomian mensyaratkan bahwa semua program transisi energi harus efektif mengurangi emisi dengan biaya publik yang minimal dan terjangkau.

Baca juga: Cara Capai Target Nol Emisi, Pensiun Dini PLTU dan Dorong PLTS

Adapun prinsip keadilan mensyaratkan bahwa biaya transisi energi harus terdistribusi secara proporsional dan adil sehingga tidak ada pihak yang dikorbankan atau ditinggalkan.

"Kami membuat sebuah ‘model, kuantifikasi, dan kualifikasi’ sehingga dua prinsip utama tersebut menjadi sebuah parameter yang bisa diimplementasikan,” tutur Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum.

Sesuai dengan namanya, standar tersebut bertujuan untuk membuat program penutupan dini PLTU dan program transisi energi lainnya dapat mengurangi emisi secara efektif.

Dengan menggunakan biaya publik yang serendahrendahnya atau efisien, dan biaya yang terdistribusi secara proporsional serta adil.

Rekomendasi pensiun dini PLTU

Dari laporan tersebut, untuk mencapai penutupan yang ideal, Abdurrahman menyampaikan beberapa rekomendasi.

“Pertama, kami merekomendasikan agar pemerintah dan pihak yang berkepentingan lainnya seoptimal mungkin menggali sumber pendanaan dari pihak yang paling relevan,” ujarnya.

Pihak tersebut, antara lain pemerintah negara-negara industri dan entitas ekonomi yang mengeluarkan emisi paling besar, baik dalam bentuk hibah, kerja sama, maupun dana berbasis regulasi seperti pajak.

Baca juga: Pensiun Dini PLTU Dianggap Warga Lokal Lebih Berdampak Positif

Kedua, ia melanjutkan, pemerintah bisa menyelaraskan semua kebijakan termasuk industri hilirisasi dengan target Indonesia bebas emisi, sehingga tidak ada lagi PLTU ?baru yang akan dibangun.

Ketiga, pihaknya juga merekomendasikan agar standar ini digunakan oleh para pemangku kepentingan dalam menyusun program penutupan dini PLTU (dan program transisi energi lainnya), agar program tersebut efektif, efisien, dan berdasarkan prinsip keadilan.

“Keempat, untuk mendapatkan best practice yang optimal, pemerintah bisa memulai penutupan dini PLTU dengan sebuah pilot project yang kecil dan berbiaya murah,” pungkas Abdurrahman.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Pekerja Disabilitas Baru 0,53 Persen, Silang.id Minta Industri Inklusif
Pekerja Disabilitas Baru 0,53 Persen, Silang.id Minta Industri Inklusif
Swasta
KG Media Sabet Dua Penghargaan Global INMA Awards 2025, Inovasi Berbasis Nilai dan Keberlanjutan Mendunia
KG Media Sabet Dua Penghargaan Global INMA Awards 2025, Inovasi Berbasis Nilai dan Keberlanjutan Mendunia
Swasta
Subsidi 6 Sektor Strategis Picu Masalah Lingkungan, Perlu Transparansi
Subsidi 6 Sektor Strategis Picu Masalah Lingkungan, Perlu Transparansi
Pemerintah
Buang Sampah Sembarangan, DLH Cianjur Terapkan Sanksi Rp 500.000
Buang Sampah Sembarangan, DLH Cianjur Terapkan Sanksi Rp 500.000
Pemerintah
Perubahan Iklim Bikin Anggur Cepat Matang, Punya Gula Lebih Tinggi
Perubahan Iklim Bikin Anggur Cepat Matang, Punya Gula Lebih Tinggi
LSM/Figur
Gelombang Panas Hantam Laut Inggris dan Irlandia, Apa Dampaknya?
Gelombang Panas Hantam Laut Inggris dan Irlandia, Apa Dampaknya?
Swasta
RI-Brasil Kerja Sama Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara
RI-Brasil Kerja Sama Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara
Pemerintah
Permukaan Laut Tetap Naik meski Pemanasan Global Dibatasi 1,5 Derajat C
Permukaan Laut Tetap Naik meski Pemanasan Global Dibatasi 1,5 Derajat C
Pemerintah
Profesor IPB Sebut Bakteri Pereduksi Nitrat Mampu Turunkan Emisi GRK
Profesor IPB Sebut Bakteri Pereduksi Nitrat Mampu Turunkan Emisi GRK
LSM/Figur
Singa Asia di India Naik Jadi 891 Ekor, Bukti Kesuksesan Konservasi
Singa Asia di India Naik Jadi 891 Ekor, Bukti Kesuksesan Konservasi
Pemerintah
'Destination Zero Waste Bali', Inisiatif Kolaboratif Kurangi Sampah Plastik di Industri Perhotelan
"Destination Zero Waste Bali", Inisiatif Kolaboratif Kurangi Sampah Plastik di Industri Perhotelan
LSM/Figur
Menteri LH: Pemprov Kalsel Baru Kelola 48,5 Persen Sampah, Setengahnya Dibuang ke TPA Open Dumping
Menteri LH: Pemprov Kalsel Baru Kelola 48,5 Persen Sampah, Setengahnya Dibuang ke TPA Open Dumping
Pemerintah
Hadirkan Rompi Kembali Utuh, Kolaborasi Adrie Basuki dan CISC Dukung Perjuangan Pasien Kanker
Hadirkan Rompi Kembali Utuh, Kolaborasi Adrie Basuki dan CISC Dukung Perjuangan Pasien Kanker
LSM/Figur
Ahli IPB Usulkan Lutung Sentarum Jadi Satwa Dilindungi
Ahli IPB Usulkan Lutung Sentarum Jadi Satwa Dilindungi
LSM/Figur
Permintaan Tembaga Diprediksi Melonjak, Tapi Pasokan Terbatas
Permintaan Tembaga Diprediksi Melonjak, Tapi Pasokan Terbatas
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau