Selain APBN, juga kerja sama dengan pihak luar negeri ataupun bentuk-bentuk komitmen lainnya. Selain pinjaman dari Bank Dunia, pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Uni Emirat Arab untuk rehabilitasi mangrove di Bangka Belitung seluas 10.000 hektare pada Februari 2022.
Sebulan kemudian juga ada kerja sama dengan Singapura mengembangkan riset ekonomi hijau sebagai solusi mitigasi krisis iklim. Sementara dengan Arab Saudi, pemerintah bekerja sama merehabilitasi mangrove seluas 150.000 hektare.
Kedua, belum ada kesepahaman tentang ukuran keberhasilan tanaman mangrove. Sepanjang 2010-2019, pemerintah Indonesia telah menanam mangrove lebih dari 45.000 hektare.
Tahun 2020, penanaman mangrove kembali dilakukan seluas 39.970 hektare oleh KLHK, BRGM, serta pihak-pihak terkait lainnya.
Sementara itu, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) semasa pandemi, percepatan rehabilitasi mangrove tahun 2021 mencapai 34.000 hektare.
Total luas mangrove yang telah direhabilitasi dari tahun 2010 hingga 2021 seluas 118.970 hektare.
Melalui BRGM yang sengaja dibentuk pemerintah pada akhir Desember 2020 untuk menangani mangrove yang rusak dan juga kementerian dan lembaga lainnya, pemerintah sedang berupaya keras untuk merehabilitasi mangrove yang rusak seluas hampir 600.000 hektare.
Data luas yang disebut di atas adalah data luas penanaman. Keberhasilan dalam arti tingkat pertumbuhan dan luas tanaman (survival rate and large growth) rehabilitasi mangrove belum dilaporkan dan diverifikasi secara menyeluruh.
Publik tidak mendapatkan gambaran utuh berapa sebenarnya luas mangrove yang telah ditanam setelah dalam jangka waktu tertentu (5, 10, 15 tahun) berhasil tumbuh dengan baik dari luas tanaman mangrove pada awal ditanam.
Selama ini KLHK hanya merilis luas mangrove yang ditanam berikut dana yang digelontorkan setiap tahunnya saja.
Sebagai contoh, Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung tahun 2020 melakukan penanaman mangrove seluas 15.000 hektare dengan nilai Rp 406,1 miliar di 34 provinsi di Indonesia.
Menurut Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko (kini Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem), kegagalan tanaman mangrove antara lain akibat tempat atau lokasi yang kurang sesuai karena berhadapan langsung dengan laut.
Selain itu, kurangnya partisipasi masyarakat, ketidaksesuaian waktu tanam dan masa berbuah, waktu tanamnya terlalu mundur dengan musim ombak yang tenang, lokasi bekas habitat mangrove yang telah rusak.
BRGM belum punya tolok ukur tingkat keberhasilan tanaman mangrove yang baku. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021, pedoman teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya berlaku dan dikhususkan pada tanaman reboisasi pada kawasan teresterial (daratan).
Itu pun, keberhasilan tanaman reboisasi masih dapat diperdebatkan karena teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya dilakukan sampai pada pemeliharaan II (tanaman umur 3 tahun).
Padahal penilaian keberhasilan tanaman harus diukur sampai dengan tanaman mencapai umur dewasa (minimal 15 tahun) setelah melalui fase anakan, sapihan, tiang dan pohon dewasa.
BRGM juga belum memutuskan persentase pertumbuhan hidup tanaman mangrove yang masuk kategori berhasil, meskipun BRGM telah mengevaluasi rehabilitasi tahun tanam 2020 di lahan mangrove seluas 13.000 hektare.
Menurut Kepala Kelompok Kerja Perencanaan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove Noviar, persentase tumbuh tanaman mangrove rata-rata di atas 50 persen sudah dapat dikatakan berhasil karena sulitnya pertumbuhan tanaman mangrove. Meskipun pendapat ini masih dapat diperdebatkan.
Perlu dipahami bahwa untuk penanaman murni dengan jarak tanam 2 x 1 meter dan 1 x 1 meter dengan muatan bibit per hektare 5.000 batang bibit per hektar dan 10.000 batang bibit per hektare.
Sementara untuk tanaman mangrove dengan jarak tanam 1 x 3 meter dengan bibit 3.300 batang bibit per hektare.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya