Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Masalah Mendasar Rehabilitasi Mangrove

Kompas.com - 29/02/2024, 08:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAJUK Rencana Kompas, Senin (19/2/2024), menurunkan tulisan menarik berjudul “Percepat Rehabilitasi Mangrove” yang menyebut rehabilitasi hutan mangrove dinilai lamban.

Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mencatat ekosistem mangrove seluas 637.000 hektare telah kritis. Sejauh ini, rehabilitasi mangrove jauh di bawah target pemerintah.

Peta Mangrove Nasional tahun 2021 mencatat, total luas hutan mangrove di Indonesia 3,36 juta hektare atau 20 persen lebih dari seluruh ekosistem mangrove di dunia.

Pada 2021, Presiden Joko Widodo menargetkan rehabilitasi mangrove di Indonesia sekitar 600.000 hektare hingga 2024. Namun hingga kini rehabilitasi mangrove baru mencapai 130.000 hektare (Kompas, 17/02/2024).

Padahal, hutan mangrove melindungi garis pantai dari badai dan tsunami melalui rendaman gelombang. Mangrove juga menyerap karbon empat kali lebih banyak dibanding hutan hujan lewat akumulasi biomassa hidup, endapan sampah dan kayu mati.

Hutan mangrove di Indonesia menyipan 3,14 miliar ton karbon dioksida. Keberadaan mangrove juga mendukung mata pencaharian warga.

Sekitar 55 persen dari total biomassa tangkapan ikan di Indonesia terdiri atas spesies yang bergantung pada mangrove.

Sumber ancaman paling serius terhadap habitat mangrove adalah meningkatnya kepadatan populasi manusia dan pembangunan di pesisir.

Pembangunan perkotaan, budidaya perikanan, konversi ke pertanian seperti pertanian padi, dan eksplotasi kayu mangrove yang berlebihan merupakan faktor utama hilangnya mangrove.

Mengingat besarnya manfaat mangrove, menjadi lebih penting lagi untuk mengembalikan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak dan kritis menjadi hutan mangrove seperti semula dengan melakukan rehabilitasi mangrove melalui revegetasi (penanaman kembali) tanaman baru.

Masalahnya, revegetasi mangrove tidak semudah seperti menanam tanaman kehutanan, misal, pinus dan jati yang sistem silvikulturnya telah dikuasai sejak lama.

Pada 14 September 2023, saya diundang sebagai pembahas diskusi terfokus (Focus Group Disscussion/FGD) tentang mangrove oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) di Jakarta.

Saya satu-satunya praktisi/ahli nonperguruan tinggi yang diundang dalam diskusi. Narasumber lainnya dari UGM, Universitas Diponegoro, IPB, ITB, UI.

Terungkap bahwa rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh BRGM sejak 2021 (seiring dengan telah berubahnya nama Badan Restorasi Gambut/BRG menjadi BRGM), banyak kendala atau masalah yang ditemui dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove di tingkat tapak (lapangan).

Masalah yang dihadapi BRGM dalam rehabilitasi mangrove di antaranya:

Pertama, penyediaan anggaran/pendanaan. BRGM punya tanggung jawab memulihkan 600.000 hektare mangrove yang rusak di sembilan provinsi. Pemulihan itu saat ini terkendala pendanaan.

Kebutuhan biaya untuk pemulihan mangrove yang menjadi tugas BRGM sebesar Rp 23 triliun. Biaya yang cukup mahal untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, jika dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi di lahan kering.

Jika mengacu pedoman standar biaya kegiatan di lingkup Kementerian Lingkungan dan Kehutanan tahun 2021, kegiatan pembuatan hutan rakyat hanya Rp 5,7 juta - Rp 7,2 juta per hektare.

Tahun 2022, rehabilitasi mangrove melalui penanaman kembali (revegetasi) ditargetkan mencapai 11.000 hektare.

Menurut Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko (waktu itu), untuk mempercepat rehabilitasi mangrove, aspek pendanaan harus menggunakan banyak skema.

Selain APBN, juga kerja sama dengan pihak luar negeri ataupun bentuk-bentuk komitmen lainnya. Selain pinjaman dari Bank Dunia, pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Uni Emirat Arab untuk rehabilitasi mangrove di Bangka Belitung seluas 10.000 hektare pada Februari 2022.

Sebulan kemudian juga ada kerja sama dengan Singapura mengembangkan riset ekonomi hijau sebagai solusi mitigasi krisis iklim. Sementara dengan Arab Saudi, pemerintah bekerja sama merehabilitasi mangrove seluas 150.000 hektare.

Kedua, belum ada kesepahaman tentang ukuran keberhasilan tanaman mangrove. Sepanjang 2010-2019, pemerintah Indonesia telah menanam mangrove lebih dari 45.000 hektare.

Tahun 2020, penanaman mangrove kembali dilakukan seluas 39.970 hektare oleh KLHK, BRGM, serta pihak-pihak terkait lainnya.

Sementara itu, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) semasa pandemi, percepatan rehabilitasi mangrove tahun 2021 mencapai 34.000 hektare.

Total luas mangrove yang telah direhabilitasi dari tahun 2010 hingga 2021 seluas 118.970 hektare.

Melalui BRGM yang sengaja dibentuk pemerintah pada akhir Desember 2020 untuk menangani mangrove yang rusak dan juga kementerian dan lembaga lainnya, pemerintah sedang berupaya keras untuk merehabilitasi mangrove yang rusak seluas hampir 600.000 hektare.

Data luas yang disebut di atas adalah data luas penanaman. Keberhasilan dalam arti tingkat pertumbuhan dan luas tanaman (survival rate and large growth) rehabilitasi mangrove belum dilaporkan dan diverifikasi secara menyeluruh.

Publik tidak mendapatkan gambaran utuh berapa sebenarnya luas mangrove yang telah ditanam setelah dalam jangka waktu tertentu (5, 10, 15 tahun) berhasil tumbuh dengan baik dari luas tanaman mangrove pada awal ditanam.

Selama ini KLHK hanya merilis luas mangrove yang ditanam berikut dana yang digelontorkan setiap tahunnya saja.

Sebagai contoh, Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung tahun 2020 melakukan penanaman mangrove seluas 15.000 hektare dengan nilai Rp 406,1 miliar di 34 provinsi di Indonesia.

Menurut Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko (kini Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem), kegagalan tanaman mangrove antara lain akibat tempat atau lokasi yang kurang sesuai karena berhadapan langsung dengan laut.

Selain itu, kurangnya partisipasi masyarakat, ketidaksesuaian waktu tanam dan masa berbuah, waktu tanamnya terlalu mundur dengan musim ombak yang tenang, lokasi bekas habitat mangrove yang telah rusak.

BRGM belum punya tolok ukur tingkat keberhasilan tanaman mangrove yang baku. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021, pedoman teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya berlaku dan dikhususkan pada tanaman reboisasi pada kawasan teresterial (daratan).

Itu pun, keberhasilan tanaman reboisasi masih dapat diperdebatkan karena teknis penilaian keberhasilan tumbuh tanaman hanya dilakukan sampai pada pemeliharaan II (tanaman umur 3 tahun).

Padahal penilaian keberhasilan tanaman harus diukur sampai dengan tanaman mencapai umur dewasa (minimal 15 tahun) setelah melalui fase anakan, sapihan, tiang dan pohon dewasa.

BRGM juga belum memutuskan persentase pertumbuhan hidup tanaman mangrove yang masuk kategori berhasil, meskipun BRGM telah mengevaluasi rehabilitasi tahun tanam 2020 di lahan mangrove seluas 13.000 hektare.

Menurut Kepala Kelompok Kerja Perencanaan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove Noviar, persentase tumbuh tanaman mangrove rata-rata di atas 50 persen sudah dapat dikatakan berhasil karena sulitnya pertumbuhan tanaman mangrove. Meskipun pendapat ini masih dapat diperdebatkan.

Perlu dipahami bahwa untuk penanaman murni dengan jarak tanam 2 x 1 meter dan 1 x 1 meter dengan muatan bibit per hektare 5.000 batang bibit per hektar dan 10.000 batang bibit per hektare.

Sementara untuk tanaman mangrove dengan jarak tanam 1 x 3 meter dengan bibit 3.300 batang bibit per hektare.

Khusus untuk pola tanaman wanamina, muatan bibit hanya 800 batang anakan per hektare. Sementara untuk pola tanam rumpun berjarak muatan bibitnya per hektare 5.000 batang anak per hektare.

Sedangkan untuk pola tanam pengayaan, muatan bibitnya tiap hektare hanya 1.000-3.000 batang.

Ketiga, payung hukum terhadap rehabilitasi mangrove belum ada. Dalam rehabilitasi hutan dan lahan, rehabilitasi mangrove punya posisi unik.

Di Undang-Undang Kehutanan, pasal 41 ayat (1) menyebutkan rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya.

Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, masalah yang berkaitan dengan rehabilitasi mangrove tidak disebut secara tersirat (implisit) apalagi tersurat (eksplisit).

Belakangan baru diketahui bahwa sejak 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.

Jadi, apa dasar regulasi BRGM melakukan rehabilitasi mangrove selama ini?

Ternyata BRGM melakukan rehabilitasi mangrove berdasarkan regulasi dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 tentang rehabilitasi hutan dan lahan, khususnya pada pasal 19 ayat (1 dan 4) dan Lampiran VI.

Dalam pedoman pelaksanaan rehabilitasi mangrove dikenal adanya cara penanaman dengan penanaman memakai bibit dan dengan benih.

Khusus penanaman langsung dengan benih dapat dilakukan dengan benih jenis propagul, pada areal berlumpur. Benih/buah ditancapkan ke dalam lumpur dengan bakal kecambah menghadap ke atas.

Untuk menjaga agar buah tidak hanyut, bila perlu diikatkan pada ajir. Penanaman dapat juga dilakukan dengan penaburan benih non propagul sesuai dengan kearifan lokal.

Sementara itu, pola tanam mangrove dapat dilakukan dengan empat cara, yakni penanaman murni, penanaman wanamina (sylvofishery), penanaman rumpun berjarak, dan pengayaan tanaman (enrichment planting).

Pola tanam murni dibedakan menjadi pola tanam merata dan/atau pola strip (jalur). Jumlah tanaman per hektare berkisar 3.300-10.000 batang per hektare sesuai kondisi lapangan.

Pola tanam wanamina dilaksanakan seperti halnya dengan pola tanam murni, tapi dalam penanamannya dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan.

Dalam menyiapkan RPP tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove, ternyata sampai dengan akhir Februari 2024 ini masih belum tuntas dan final.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih mempertanyakan kepada KLHK tentang batasan kewenangan antara KLHK dan KKP.

Perlu segera adanya titik temu dan kesepakan antara dua kementerian yang mengurusi masalah ekosistem mangrove sehingga penyusunan PP yang dimaksud segera tuntas dan final.

Aturan tersebut dapat memayungi dari aspek hukumnya untuk melindungi hasil-hasil rehabilitasi mangrove yang selama ini telah dilakukan dengan susah payah.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com