Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Tetap Izinkan Pabrik EV dengan Baterai LFP, Ini Alasannya

Kompas.com - 29/02/2024, 12:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Danur Lambang Pristiandaru

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah terus mendorong produsen kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) untuk membangun pabrik di Indonesia.

Sebab, pembangunan pabrik mobil listrik, baik dengan baterai berbahan baku nikel atau yang lainnya, dinilai akan tetap menguntungkan Indonesia.

Hal ini disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin, dalam Workshop bertajuk “Course to Zero (Emissions)” yang digelar di Jakarta, Rabu (28/2/2024). 

Baca juga: Untuk Beralih ke Kendaraan Listrik, Perlu Ubah Mindset Masyarakat

"Kalau di Indonesia itu untung, bisa pakai (baterai kendaraan listrik) apa saja sebenarnya. Mau pakai LFP (lithium iron phosphate) atau nikel boleh," kata Rachmat. 

Saat ini, sebagian besar kendaraan listrik yang sudah dipasarkan di Indonesia menggunakan baterai LFP, bukan nikel. Kendaraan listrik dengan baterai LFP yang sudah dijual di Indonesia tersebut contohnya produksi BYD dan Wuling.

Padahal, Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia yakni mencapai sekitar 25 persen. 

Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia juga sangat mendorong untuk melakukan hilirisasi nikel yang dapat digunakan untuk membuat baterai kendaraan listrik.

Baca juga: Industri Baterai dan Kendaraan Listrik Tak Sesuai Eksploitasi Nikel

LFP dan nikel sama baiknya

Rachmat menjelaskan, masing-masing baterai baik nikel maupun LFP memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. 

Menurutnya, baterai nikel atau nickel manganese cobalt (NMC) punya keunggulan karena lebih padat. Baterai nikel menjadi lebih ringan dan lebih cepat saat pengisian daya meski harganya lebih mahal dibandingkan LFP. 

"Dengan dimensi dan berat yang sama, dia (nikel) lebih banyak minum listrik, dan stabil," ujarnya. 

Sedangkan LFP memiliki keunggulan lainnya yaitu materinya lebih banyak tersedia dimana-mana. Namun, di tempat yang lebih dingin, energi baterai LFP biasanya akan lebih cepat hilang. 

Mengingat suhu dan iklim Indonesia yang relatif tidak merasakan musim dingin esktrem, Rachmat menilai penggunaan kedua baterai sudah tepat. 

Ia juga menyampaikan, pemerintah tetap mendorong produsen mobil listrik mendirikan pabrik di Indonesia meski tidak menggunakan nikel. Alasannya, masifnya kendaraan listrik di Indonesia juga akan mendorong industri baterai kendaraan listrik untuk tumbuh.

“Kalau tidak ada industri mobilnya, industri baterai tidak ada, paling kita mentok berhenti di sini (baterry precursor)," kata Rachmat. 

Baca juga: Ada 2.704 Charging Station Buat Ngecas Kendaraan Listrik, Jakarta Terbanyak

Dorong produsen mobil listrik

Rachmat menjelaskan, Indonesia saat ini baru menguasai 2 persen industri mobil di dunia. Hal tersebut perlu didongkrak dengan membuka kesempatan produsen kendaraan listrik masuk, sehingga hilirisasi nikel ikut berjalan. 

"Kalau kita nggak punya industri mobil, lupakan saja kita bisa hilirisasi ke tahap baterai, karena tidak ada gunanya. Kita tidak bisa kirim (hanya) dalam bentuk baterai, orang tidak ada yang mau beli," imbuhnya. 

Lebih lanjut, kata dia, terbangunnya industri kendaraan listrik akan mendorong hilirisasi nikel di Indonesia. Rachmat berharap, baterai kendaraan listrik bisa tumbuh dan melakukan ekspor ke berbagai negara.

Baca juga: Indonesia-Vietnam Perkuat Kerja Sama, Bidik Kendaraan Listrik

"Mau baterainya LFP, mau NMC, monggo, yang penting dibikin di Indonesia. Nanti kita dapat hilirisasi nikelnya di sini," ujar Rachmat.

Pemerintah, kata Rachmat, juga mewajibkan tingkat komponen dalam negeri pada baterai. Hal ini diharapkan dapat mendorong pabrik kendaraan listrik di Indonesia menggunakan baterai buatan dalam negeri.

Melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) 28/2023, pemerintah mengatur bobot TKDN sebesar 40 persen dari nilai TKDN. Ketentuan itu berlaku untuk periode 2020-2029.

"Caranya kita supaya itu (produsen) membutuhkan baterai dalam negeri bukan hanya rakit, itu sudah kita cantumkan di TKDN, TKDN 60 persen itu pasti pakai baterai dalam negeri. Karena 40 persen itu kira-kira TKDN nya adalah dari perakitan dan riset RND," pungkasnya. 

Baca juga: 15 Juta Kendaraan Listrik Ditarget Mengaspal di Indonesia pada 2030

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com