KOMPAS.com - Energy Shift Institute (Energy Shift) memperkirakan tahun ini Indonesia hanya memiliki 10 gigawatt-hour (GWh) atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global sebesar 2.800 GWh.
Dengan kapasitas global diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, Indonesia dikatakan tertinggal jauh di belakang, meski produksi nikelnya meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015.
Padahal, menurut Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna, hilirisasi nikel Indonesia bersandar pada tujuan dan narasi yang dibangun pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah nikel dan menjadi pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dunia.
"Namun dengan kapasitas produksi baterai yang sangat kecil, Indonesia kemungkinan sudah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya, sehingga rencana ke depan perlu ditinjau ulang dan ditata kembali," ujar Adhiguna, dalam pernyataan tertulis, Jumat (9/2/2024).
Baca juga: Indonesia-Vietnam Perkuat Kerja Sama, Bidik Kendaraan Listrik
Ia menjelaskan, berbagai rentetan pemberitaan mengenai investasi ‘ekosistem baterai kendaraan listrik’ di Indonesia kerap mengaburkan skala investasi yang sebenarnya untuk produksi baterai, tersamarkan dalam angka investasi untuk produk setengah jadi.
Kemajuan memang mulai terjadi dari bahan mentah menuju produk setengah jadi untuk industri baterai. Meski saat ini, sekitar tiga perempat ekspor nikel masih berkaitan dengan industri baja tahan karat.
"Namun, saat Indonesia perlahan merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai dan KBLBB, perlombaan di antara negara-negara lain sudah berjalan kencang," imbuhnya.
Adhiguna menyampaikan bahwa pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia berlangsung lebih cepat dibandingkan permintaan.
Dalam semester pertama tahun lalu, pabrik baterai di China secara rata-rata beroperasi kurang dari 45 persen kapasitas produksinya.
Seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di China, ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka, persaingan untuk investasi akan semakin ketat—meski dalam pasar yang terus tumbuh.
Sejauh ini, kata dia, nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya.
"Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai. Perhatian publik belakangan ini juga banyak tertuju pada pesatnya pertumbuhan baterai tanpa nikel dan perdebatan mengenai masa depan nikel," terangnya.
Baca juga:
Namun demikian, Energy Shift memandang bahwa permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin akan terus melambung seiring dengan laju adopsi KBLBB meskipun hadir teknologi alternatif.
"Penting dicatat bahwa dalam sektor yang berkembang pesat, angka pertumbuhan absolut lebih penting dibandingkan pangsa pasar," ujar Adhiguna.
Berdasarkan perkembangan yang ada, ia menilai produsen baterai lebih condong menempatkan investasi pabrik mereka mengikuti perkembangan pasar KBLBB. Kendati demikian, adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih cukup lamban.
"Berita masuknya raksasa KBLBB, BYD, ke Indonesia patut diapresiasi namun kemungkinan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel karena
model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel," tutur dia.
Ketatnya persaingan Indonesia dengan negara ASEAN untuk memberikan insentif guna mendapatkan investasi pabrikan kendaraan listrik dan baterai, juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas daya tawar hilirisasi nikel dalam mendorong industri baterai dan KBLBB Indonesia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya