KOMPAS.com - Smart farming atau pertanian cerdas disebut sebagai salah satu solusi dalam mengatasi keterbatasan lahan di Indonesia.
Pertanian cerdas menerapkan berbagai teknologi termutakhir seperti sensor, internet of things (IoT), analisis big data, robotika, dan kecerdasan buatan dalam proses pertanian.
Berbagai teknologi itu disebut mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan pertanian.
Baca juga: Emirates Caplok Bustanica, Pertanian Vertikal Terbesar di Dunia
Perekaya Ahli Pertama Pusat Riset Hortikultura Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haryo Prastono mengatakan, pertanian cerdas berbasis pada metode agrikultur yang presisi.
"Meningkatkan kuantitas maupun kualitas produksi dalam rangka mengoptimalkan sumber daya lahan, teknologi budidaya, SDM (sumber daya manusia), dan sumber daya produksi yang lain," kata Haryo dikutip dari situs web BRIN, Rabu (28/2/2024).
Dia menambahkan, pertanian cerdas diperlukan karena lahan pertanian terbatas dan kebutuhan produk pertanian semakin meningkat dengan kualitas yang tinggi.
Peneliti Ahli Pertama Pusat Riset Hortikultura BRIN Mathias Prathama menyampaikan, selain keterbatasan lahan, penggunaan air juga menjadi tantangan pertanian saat ini.
Baca juga: Jejak Karbon Urban Farming 6 Kali Lipat Lebih Besar dari Pertanian Konvensional
Indonesia sendiri memiliki banyak lahan kering dan sampai saat ini masih banyak belum termanfaatkan karena ketersedian air yang terbatas.
Penggunaan air di lahan kering yang telah dimanfaatkan sebagai area pertanian saat ini pun masih belum efisien.
Keterbatasan ketersediaan air tanah, lahan subur, dan degradasi kesuburan tanah tersebut terjadi karena dampak perubahan iklim.
"Untuk itu kami menawarkan strategi adaptasi yang berupa penerapan pertanian presisi, yang salah satunya menerapkan fertigasi menggunakan irigasi mikro atau tetes," kata Mathias.
Baca juga: Indonesia-Jepang Kolaborasi Olah Limbah Pertanian Jadi Biofuel dan Biokimia
Fertigasi merupakan aplikasi pemupukan yang dilakukan bersamaan dengan aplikasi irigasi yang memiliki keunggulan sebagai sistem yang sangat efisien hara dan efisien penggunaan air.
Dalam penerapannya, irigasi presisi memanfaatkan data perubahan iklim dari Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ataupun menggunakan Automatic Weather Station (AWS), khususnya data evaporasi atau evapotraspirasi.
Setelah mendapatkan data evaporasi atau evapotranspirasi, langkah selanjutnya adalah mengadaptasi teknologi-teknologi pertanian maju seperti irigasi otomatis, sensor kelembaban tanah atau udara otomatis, sensor hujan, sensor hara dan sensor yang lainnya.
Langkah terakhir yakni mengimplementasikan data tersebut pada teknologi-teknologi maju, sehingga fertigasi yang presisi bagi tanaman dapat terlaksana dan pertanian presisi dapat terwujud.
Baca juga: Tarik Minat Pemuda, Pertanian Dinilai Perlu Masuk Kurikulum SD-SMA
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya