Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Waktunya Menabung Air

Kompas.com - 20/03/2024, 08:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUSIM hujan yang berlangsung sampai Maret 2024, mestinya disyukuri sebagai berkah bagi bangsa Indonesia, karena bagi para petani masih diberi kesempatan untuk menanam tanaman pangan.

Namun, faktanya musim hujan sekarang bukannya menjadi berkah, malah sebaliknya menjadi musibah bagi sebagian warga.

Di sana sini terjadi musibah hidrometeorologi, mulai dari banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.

Lihat saja pemberitaan di media televisi nasional, para kepala daerah (bupati, wali kota) sepanjang daerah pantai utara Jawa (pantura) tengah sibuk mengurusi warganya yang kebanjiran, merelokasi mereka ke tempat yang aman.

Daerah langganan banjir seperti Semarang, Demak, Kudus, Pati, Grobogan menjadi tempat yang paling parah akibat bencana banjir.

Sering terdengar tudingan terhadap cuaca ekstrem dan curah hujan sebagai biang keladi bencana ini. Padahal, bencana banjir ekstrem yang terjadi di sejumlah daerah tidak semata-mata karena curah hujan tinggi.

Faktanya, bencana banjir yang terjadi lebih banyak karena perubahan tutupan lahan (tutupan hutan) untuk kepentingan penggunaan lain seperti pemukiman, industri, pembangunan infrastruktur jalan dan seterusnya, yang notabene mengurangi kemampuan lahan untuk menyerap air kedalam tanah.

Air tawar merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang tersedia hanya 3 persen, sisanya 97 persen adalah air laut yang tidak bisa dikonsumsi manusia. Ini menandakan air tawar makin lama makin langka dan harus dikelola dengan baik ketersediannya.

Beruntung Indonesia hanya mempunyai dua musim (kemarau dan hujan) sehingga air tawar dari pasokan air hujan cukup melimpah, baik dari angin musim maupun hujan orografis yang terbentuk karena banyaknya gunung di Indonesia.

Namun air hujan yang seharusnya menjadi berkah, malah menjadi bencana karena salah kelola dalam menjaga kelestarian lingkungan, khususnya kawasan hutan yang berada di daerah hulu.

Dalam kaitan ini, menjadi penting keberadaan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau dikenal dengan “catchment area” Daerah Aliran Sungai (DAS) suatu kawasan.

DAS tidak mengenal batas wilayah administratif karena hanya mengenal hulu dan hilir. Apabila terjadi bencana seperti banjir, tanggungjawab pemangku wilayah tidak bisa hanya dibebankan kehilir, tetapi juga daerah hulu.

Bentuk tanggungjawab ini dapat berupa kompensasi anggaran penyelamatan DTA pemda di hilir kepada pemda di hulu.

Contoh kasus DAS Ciliwung, bila terjadi banjir, Pemerintah Provinsi Jabar dan Kabupaten Bogor harus ikut bertanggungjawab bersama Pemprov Jakarta.

DTA merupakan daerah yang mampu menjaga keseimbangan ketersediaan air di daerah hilirnya, sepanjang fungsi hidroorologis kawasan hutan yang ada dijaga dengan baik.

UU No 41/1999 tentang kehutanan, pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Sayangnya aturan ini dalam undang-undang (UU) Cipta Kerja No 11 tahun 2020 bidang kehutanan, ketentuan angka minimal 30 persen dicabut dan berubah menjadi pemerintah pusat mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.

Pada kenyataannya, untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di Pulau Jawa, penutupan hutannya memang jauh di bawah angka 30 persen.

Misal DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung tinggal 8,9 persen saja.

Faktor inilah yang dominan menyebabkan banjir setiap kali musim hujan (apalagi cuaca ekstrem seperti sekarang) pada daerah-daerah hilir, yang daerahnya rata-rata berada di daerah pantura sebagaimana yang disebut di atas.

Hutan penyeimbang neraca air

Dalam kondisi normal dan ideal di mana lingkungan DAS mendukung dan dalam kondisi yang baik, musim hujan adalah musim menabung air.

Tabungan paling bagus adalah hutan sebagai penyerap alamiah air yang bisa menyeimbangkan neraca air.

Secara alami, air tawar yang jumlahnya 2,5 persen total air yang ada di planet ini berasal dari air hujan, yang masuk ke permukaan, masuk ke dalam tanah, atau mengalir melalui sungai. Proses alam menguapkan kembali air itu menjadi air hujan.

Siklus itu terus terjadi seumur bumi. Air hujan yang masuk dalam wilayah tangkapan air (catchment area) di daerah aliran sungai ditangkap oleh hutan lalu dialirkan masuk ke dalam tanah.

Penelitian menyebutkan hutan berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah. Sementara, hutan dengan pohon berdaun lebar mampu menyerap 80 persen air hujan.

Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya, makin tinggi pula air hujan yang terserap ke dalam tanah. Kawasan hutan lindung bahkan cagar alam, merupakan kawasan yang sangat efektif menyimpan air.

Hutan lindung dan cagar alam sebagai bagian dari hutan konservasi merupakan kawasan lindung yang melindungi kawasan di bawahnya.

Karena itu, hutan menjadi celengan dalam menabung air. Waduk adalah tabungan air yang dibuat manusia. Karena itu, neraca air akan terganggu jika hutan menjadi rusak atau dikonversi menjadi bukan hutan.

Alam sudah punya keseimbangannya sendiri. Maka menyalahkan curah hujan yang menjadi penyebab bencana hidrometeorologi seperti banjir, kurang bijaksana.

Curah hujan adalah variabel tetap (konstanta) yang tidak dapat diubah oleh manusia. Yang dapat diubah adalah variabel tidak tetap seperti mempertahankan dan menambah tutupan hutan dalam kawasan lindung agar kemampuan hutan menabung dan menyimpan air menjadi lebih besar dan meningkat.

Dari 120,3 juta hektare atau lebih dari 60 persen luas daratan Indonesia, wilayah yang masih tertutup hutan seluas 86,9 juta hektare. Sisanya 33,4 juta hektare berupa lahan terbuka, semak belukar, dan tanah telantar.

Menurut The State of Indonesia's Forest 2020, dari 86,9 juta hektare yang masih punya kawasan lindung, hanya 41,4 juta hektare, yang terdiri dari 17,4 juta hektare hutan lindung dan 24 juta hektare hutan konservasi.

Secara de facto pula, kawasan hutan yang masih bisa diharapkan dan berfungsi sebagai tabungan air hujan yang mampu menyeimbangkan neraca air tersisa 41,4 juta hektare atau 21,7 persen luas daratan Indonesia, berupa kawasan lindung. Batas aman kawasan lindung suatu pulau adalah 30 persen.

Hutan Pulau Jawa dengan kepadatan penduduk rata-rata 1.171 jiwa per kilometer persegi tersisa 19 persen. Sementara di Pulau Kalimantan 54,9 persen hutan dari luas daratan.

Daerah aliran sungai di Jawa juga kian memprihatinkan. DAS utama seperti Solo, Brantas, Citanduy, dan Citarum kian menyempit akibat permukiman dan invasi sampah.

Jika DAS menyempit dan kian kehilangan fungsi, ia tak akan lagi mampu menopang kebutuhan manusia. Padahal, daerah aliran sungai amat penting menjadi penyangga hidup mahluk hidup di sekelilingnya. Keberlangsungan DAS amat ditopang kawasan lindung.

Tanpa menyeimbangkan daya dukung lingkungan, dengan menambah luas hutan Pulau Jawa, penduduk yang tinggal di atasnya akan kian rentan terancam bencana iklim.

Sementara itu, wadah atau celengan air hujan buatan manusia seperti waduk/bendungan, embung, danau/situ buatan masih belum cukup.

Sejak 2014, bendungan yang sudah diresmikan sebanyak 29 bendungan dan tahun ini akan selesai lagi 38 bendungan dengan target sampai 2024 lebih dari 61 bendungan.

Menabung air hujan juga sangat cocok untuk daerah yang bulan hujannya sedikit (kering). Namun, wadah tabungan air hujan yang paling efektif sebagai penyeimbang neraca air adalah wadah alami berupa kawasan lindung dalam kawasan hutan (hutan lindung dan hutan konservasi) dibanding dengan wadah air hujan buatan seperti bendungan dan embung berapa pun jumlahnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau