KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai, dibutuhkan sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana terintegrasi untuk meminimalisasi potensi kerusakan dan kerugian.
Deputi Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani mengatakan, sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana yang terintegrasi berisi kondisi prakiraan cuaca.
Selain itu, sistem informasi tersebut juga memiliki peta risiko yang ditimbulkan dapat secara detail terjelaskan, sebagaimana dilansir Antara, Jumat (19/4/2024).
Baca juga: Indonesia Paparkan Strategi Kurangi Kesenjangan Bencana Laut di Forum PBB
Adapun cuaca ekstrem yang berisiko menimbulkan bencana hidro-meteorologi basah di wilayah Indonesia tersebut antara lain seperti tanah longsor, banjir bandang, dan angin puting beliung.
Dengan sistem ini, Andri berharap masyarakat dapat menerima informasi cuaca ekstrem yang lebih akurat dan tepat waktu, sehingga dapat terhindar dari risiko dampak bencana.
Namun, dia menyampaikan sistem ini baru berjalan secara efektif pada tingkat analisis prakiraan nasional melibatkan sejumlah lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan SAR Nasional (Basarnas) hingga TNI dan Polri.
Di sisi lain, sistem tersebut belum dimiliki menyeluruh pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota sehingga informasi yang disajikan kurang detail.
"Bahkan informasi cuaca berbasis dampak yang ada saat ini sudah baik sekali bisa mendeteksi per 10 hari ke depan, bahkan tiga jam ke depan sudah bisa diprakirakan akurat. Tapi nasional, pada tingkat lokal belum semuanya memiliki," ujarnya.
Baca juga: Memperbaiki Sistem Peringatan Dini Bencana
Dia menambahkan, tindakan awal atau early action atas peringatan dini yang diinformasikan masih cenderung lamban sehingga tak jarang pula dampak kerusakan dan kerugian materiil atau non-materiil di daerah masih tinggi.
Selain itu, luasnya wilayah Indonesia dengan topografi beranekaragam yang notabene sulit diakses juga menjadi tantangan tersendiri dalam hal respons cepat mengurangi risiko bencana itu.
Andri berharap, semua daerah di Indonesia bisa berkontribusi menyediakan sistem informasi cuaca ekstrem berbasis dampak bencana terintegrasi ini.
Dia menyampaikan, BMKG sedang menjalin koordinasi yang berkelanjutan bersama otoritas terkait dan pemerintah daerah.
"Harapannya tahun ini formulasi sistem informasi itu sudah berjalan, khususnya bencana banjir yang jadi perhatian karena dapat pula menimbulkan tanah longsor," tuturnya.
Baca juga: Mampu Atasi Bencana, Indonesia Dapat Apresiasi Forum Global
Sementara itu, berdasarkan catatan dari Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, sejak Januari-April telah terjadi beberapa kali bencana banjir disertai tanah longsor.
Berbagai bencana tersebut menyebabkan lebih dari ratusan ribu warga terdampak, puluhan ribu rumah warga sekaligus fasilitas umum mengalami kerusakan.
Bahkan, bencana hidro-meteorologi basah itu memakan korban jiwa dan hingga saat ini jasadnya masih dinyatakan hilang.
Misalnya tanah longsor di Pesisir Selatan, Sumatera Barat; Intan Jaya, Papua; dan Bandung Barat, Jawa Barat.
Terakhir bencana tanah longsor di Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang mengakibatkan sebanyak 20 orang warga meninggal dunia.
Baca juga: Maret, Bulan dengan Rekor Suhu Terpanas Global, Picu Bencana Ekstrem
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya