KOMPAS.com - Rektor IPB University Prof Arif Satria menjelaskan dampak triple planetary crisis terhadap pertanian di Indonesia. Pertanian memang erat kaitannya dengan tiga tantangan tersebut.
Pertanian bisa berdampak terhadap perubahan iklim, misalnya akibat dari pemupukannya yang kurang pas, atau kebutuhan airnya yang begitu besar.
Namun, pertanian juga bisa ikut terdampak oleh perubahan iklim, karena setiap kenaikan suhu 1 derajat, maka produktivitas nasional itu bisa turun 10 persen.
Baca juga: BRIN-PT Nestle Indonesia Kolaborasi Riset Pertanian Berkelanjutan
“Apabila kita tidak mampu memitigasi dengan baik perubahan iklim ini, maka produksi pangan kita memang akan cenderung menurun sehingga diperlukan langkah-langkah lebih proaktif,” ujar Arif dalam acara Festival Pengendalian Lingkungan yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Lebih lanjut, ia menyatakan tantangan triple planetary crisis tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama.
Kolaborasi antar pemangku kepentingan, mulai dari perguruan tinggi, pemerintah daerah, dunia usaha, hingga masyarakat diperlukan.
“Yang paling penting pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat harus bersatu, karena tidak bisa mengatasi perubahan iklim itu sendiri-sendiri,” imbuhnya.
IPB University, kata dia, telah melakukan berbagai inovasi untuk mengatasi ancaman terhadap ketahanan pangan nasional.
Di antaranya melalui IPB 9G, varietas baru yang tahan terhadap perubahan iklim. Varietas ini mempunyai kemampuan untuk menghemat pupuk sampai 25 persen, dan kemampuan untuk bisa menghemat air 10-15 persen.
Baca juga: Modernisasi Pertanian, Kementan Dorong Listrik Masuk Sawah
“Artinya, yang saat ini kita khawatirkan bahwa pertanian itu boros air, sebenarnya sudah bisa kita hadirkan sebuah varietas yang lebih baik,” kata Arif.
Kemudian, terobosan kedua adalah dari sisi sistem budidayanya. Menurut Arif, IPB University mengembangkan bio imunisasi dan bio pestisida. Dengan begitu, pihaknya sudah mulai mengurangi intervensi zat-zat kimia.
“Jadi saya kira pemerintah perlu semakin fokus untuk memperkuat kemampuan dalam intervensi yang serba bio, karena itu lebih aman terhadap manusia dan juga lebih ramah lingkungan, lebih tahan terhadap perubahan iklim dan seterusnya,” tutur Arif.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro mengapresiasi berbagai pihak yang ikut menyumbangkan ilmunya dalam forum tersebut.
Sigit menjelaskan, Festival Pengendalian Lingkungan membahas target Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), target pengawasan, serta target pemulihan yang dapat dicapai oleh pemerintah daerah.
Baca juga: Lahan Terbatas? Pertanian Cerdas Jadi Solusinya
Selain itu, menurutnya, acara ini juga menjadi tempat berbagi ilmu dari narasumber yang berasal dari beragam sektor.
“Kita mendapat banyak ilmu dari para narasumber. Ada juga kesepakatan-kesepakatan yang dicapai misalnya target indeks kualitas lingkungan hidup, target pengawasan, dan target pemulihan,” kata Sigit.
Melalui Festival Pengendalian Lingkungan, KLHK mengajak Dinas Lingkungan Hidup di daerah untuk memanfaatkan fakta-fakta dan ilmu yang dibagikan dalam acara tersebut sebagai dasar untuk bernegosiasi.
Serta meminta dukungan anggaran dari DPRD, meminta dukungan dari pimpinan daerah, serta meyakinkan dinas lain agar memiliki visi yang sama dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya