Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Merawat Bendungan di Tengah Krisis Iklim

Kompas.com - 03/05/2024, 17:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM kunjungannya ke Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (2/5/2023), Presiden Joko Widodo meresmikan Bendungan Tiu Suntuk di Kabupaten Sumbawa barat.

Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengatakan, perubahan iklim membuat air menjadi kunci kehidupan. Air jadi sangat penting bagi kehidupan. Utamanya di NTB, baik untuk pertanian, air baku, maupun air minum.

Karena itu, pemerintahan Jokowi membangun tujuh bendungan di NTB. Paling banyak di seluruh provinsi di Indonesia.

Selain Bendungan Siu Suntuk, enam bendungan lain juga dibangun di NTB sepanjang periode kepemimpinan pemerintahan Presiden Jokowi.

Bendungan lainnya adalah Bendungan Tanju dan Bendungan Mila di Kabupaten Dompu, Bendungan Meninting di Kabupaten Lombok Barat, Bendungan Bintang Bano di Kabupaten Sumbawa Barat, dan Bendungan Beringin Sila di Kabupaten Sumbawa.

Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), hingga 2022, pemerintahan Jokowi telah membangun 36 bendungan dari target 61 bendungan.

PUPR mencatat, jumlah itu terdiri 29 bendungan yang terbangun hingga 2021 dan 7 bendungan baru yang telah diresmikan pada 2022.

Pada 2023, telah diselesaikan enam bendungan lainnya di seluruh Indonesia. Lima lainnya adalah Bendungan Cipanas (Jawa Barat), Bendungan Sepaku Semoi (Kalimantan Timur), Bendungan Karian (Banten), Bendungan Ameroro (Sulawesi Tenggara), dan Bendungan Lolak (Sulawesi Utara).

Saat ini, Kemeterian PUPR sedang mengupayakan untuk menyelesaikan sisa 19 bendungan hingga akhir 2024 atau selambat-lambatnya pada awal 2025.

Bendungan-bendungan ini diharapkan memperkuat ketahan pangan dan ketahan air nasional. Umumnya, bendungan yang dibangun memiliki banyak fungsi antara lain sebagai sumber air irigasi, penyedia air baku, pembangkit energi listrik terbarukan, pengendalian banjir, konservasi air dan pengembangan pariwisata.

Perlindungan bendungan

Salah satu kelemahan dari pembangunan bendungan-bendungan yang megah ini adalah belum dibarengi dengan perlindungan bendungan dari aspek lingkungan.

Beberapa bendungan pada umumnya dibangun di tempat tandus dan kering. Sementara kondisi lahan di daerah hulu maupun di atas genangan bendungan sangat kritis.

Padahal, bendungan dibangun pada umumnya untuk menampung air dan mengairi sawah untuk irigasi pertanian serta mereduksi banjir.

Lalu, bagaimana semua bendungan tersebut mampu bertahan dengan proyeksi umur 50-75 tahun? Pasalnya, kondisi sedimentasi dalam genangan bendungan akan cepat meningkat dengan tajam setiap tahun apabila tidak diikuti perbaikan lingkungan di atas genangan maupun di hulu bendungan.

Bendungan yang dibangun dengan biaya triliunan rupiah itu, sudahkah menimbang perlakuan lingkungan?

Adakah pendampingan dan konektivitas kegiatan rehabilitasi lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selama ini untuk melindunginya? Adakah kedua kementerian bersinergi dalam program bendungan?

Bendungan atau waduk menjadi penting untuk mengatur kebutuhan air sebagai bagian dari ketahanan pangan dan sebagai pengendali bencana. Karena itu, bendungan adalah barang milik negara yang vital.

Saat masih bekerja di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wilayah IX di Ujung Pandang (sekarang Makassar) pada 1994, saya diminta menyusun desain rehabilitasi oleh Departemen Pekerjaan Umum yang hendak membangun bendungan Bili-Bili di sungai Jeneberang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Bendungan bantuan pemerintahan Jepang (OECF) itu kondisinya memang kritis/gundul. Perlakuan lingkungan menjadi satu paket dengan pembangunan fisik waduk dan menjadi syarat mutlak dalam proposal yang diminta negara donor (OECF).

Umur atau masa pakai waduk dihitung dengan menimbang kekuatan badan bendung menahan air dengan mengabaikan faktor sedimentasi yang masuk dalam genangan waduk, karena sedimentasi yang masuk dalam genangan dianggap nol (tidak terjadi sedimentasi).

Untuk melindungi bendungan, DAS Jeneberang harus ditanami vegetasi kayu-kayuan. Dalam wilayah kawasan hutan yang telah kritis dapat ditanami jenis vegetasi kayu-kayu berdaun lebar dan perakaran yang dalam dengan jarak yang rapat 2 x 3 meter agar tanaman hutan ini kelak menyerap air hujan ke dalam tanah (infilitrasi) lebih besar dibanding mengalir di permukaan tanah (surface run off).

Untuk lahan kritis di luar kawasan hutan, namun masuk dalam kawasan lindung meski bisa ditanami tanaman pangan (semusim), harus dicampur dengan tanaman kayu-kayuan dengan sistem wana tani.

Jenis kayu-kayuan dalam sistem wana tani berupa jenis manfaat ganda seperti buah-buahan.

Sementara di daerah genangan waduk yang lahannya telah kritis perlu jenis vegetasi kayu berdaun lebar, perakaran dalam dan kuat serta memenuhi kriteria cepat tumbuh karena ancaman sedimentasi lahan kritis yang berada di atas genangan waduk sangat nyata dan cepat larut dalam genangan.

Ancaman lain bagi tanaman hutan yang berproses menjadi pohon dewasa bila berhasil tumbuh dengan baik adalah kebakaran saat musim kemarau.

Untuk menghindari dan menekan ancaman tersebut bisa dengan membuat sekat bakar setiap petak (25 hektare) atau blok (100-200 hektare) secara berkeliling dengan lebar tertentu (10-20 meter).

Bentuknya dapat berupa jalur kuning (tanah terbuka) maupun jalur hijau (ditanami dengan tanaman yang tahan api).

Sebagai kontrol, setiap blok dibuat menara pengawas setinggi 15-25 meter. Kantong-kantong air atau embung untuk cadangan air pada musim kemarau dan memadamkan api jika terjadi kebakaran.

Agar pohon tumbuh dewasa hingga usia 15-20 tahun, pemeliharaan perlu dengan penyulaman, pendangiran, hingga pemupukan.

Memulihkan tutupan hutan melalui rehabilitasi memang mahal, namun investasinya hanya 30 persen dari biaya membuat waduk. Sebab, bila rehabilitasi hulu waduk gagal, nasibnya seperti Bendungan Bili-bili.

Pengalaman pembangunan Bendungan Bili-Bili di Kabupaten Gowa Sulsel tahun 1994/1995 yang terlambat dalam perbaikan lingkungan di daerah atas genangan dan hulunya belum dapat berfungsi secara optimal mereduksi banjir, menjadi pelajaran berharga.

Buktinya pada 2019 lalu, Sulsel khususnya Kabupaten Gowa dilanda banjir bandang dan longsor. Isunya bendungan Bili-Bili jebol, meskipun berita ini tidak benar.

Ini mengindikasikan bahwa perlakukan lingkungan khususnya dengan rehabilitasi/revegetasi jenis tanaman kayu-kayuan yang diterapkan bagi daerah tangkapan air di hulu bendungan tersebut mengalami kegagalan.

Secara fungsional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) langsung maupun tidak langsung harus berperan aktif dan mendampingi pemulihan lingkungan daerah sekitar bendungan dan daerah hulunya.

Perlu dipikirkan untuk pembuatan persemaian permanen di daerah bendungan untuk menyuplai kebutuhan bibit rehabilitasi lahan daerah hulu dan genangan bendungan, sebagaimana KLHK membangun persemaian berskala besar untuk daerah destinasi wisata prioritas di Danau Toba Sumut, Labuan Bajo, NTT, Mandalika NTB dan Likupang di Sulut.

Rasanya, 61 bendungan yang telah dibangun tersebut perlu diperlakukan sama dengan daerah-daerah wisata prioritas dalam dukungan rehabilitasi lahannya.

Ada dua bejana raksasa sebagai tempat menabung air di tengah berlangsung krisis iklim yang yang sedang mendera dunia secara global, yakni bencana alamiah berupa ekosistem hutan di daerah hulu dan bencana buatan manusia berupa bangunan bendungan yang dibangun di bawahnya dalam satu kesatuan ekosistem daerah aliran sungai (DAS).

Secara alami, air tawar yang jumlahnya 2,5 persen total air yang ada di planet ini berasal dari air hujan, yang masuk ke permukaan, masuk ke dalam tanah, atau mengalir melalui sungai.

Proses alam menguapkan kembali air itu menjadi air hujan. Siklus itu terus terjadi seumur bumi.

Air hujan yang masuk dalam wilayah tangkapan air (catchment area) di sebuah daerah aliran sungai ditangkap oleh hutan lalu dialirkan masuk ke dalam tanah.

Ekosistem DAS yang ideal dari aspek tata air adalah apabila pada saat musim hujan tidak terjadi banjir dan saat musim kemarau tidak terjadi kekeringan/kekurangan air.

Secara kuantitatif, indikator yang mudah diingat adalah apabila rasio debit air maksimum di musim hujan dan debit air minimum di musim kemarau (Q maks/Q min) pada suatu ekosistem DAS masih kuran/di bawah angka 40, maka DAS tersebut masih dianggap masih baik.

Faktanya adalah banyak DAS-DAS besar khususnya yang berpenduduk padat seperti di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, rata-rata Q maks/ Q min sudah di atas angka 40. Bahkan untuk DAS-DAS yang sudah rusak berat/sangat kritis angka tersebut dapat mencapai diatas 2000.

Bagi DAS-DAS yang telah mencapai tahap sangat kritis, pembangunan bendungan yang dilakukan selama ini, manfaatnya hanya untuk pengendalian banjir saat musim hujan semata.

Sementara pada saat musim kemaru, bendungan-bendungan ini tidak berfungsi sama sekali karena air susut sampai kedasar bendungan.

Lagi pula di saat yang sama, terjadi proses sedimentasi kedalam wilayah genangan bendungan yang cepat karena di daerah hulunya (daerah tangkapan air) telah rusak dan kawasan tutupan hutannya tidak lagi berfungsi sebagai penyeimbang neraca air.

Sedimentasi yang dipercepat dan masuk dalam genangan bendungan akan memperpendek pemakaian usia bendungan, apabila tidak segera direhabilitasi daerah hulunya menjadi hutan kembali.

Kasus ini terjadi pada Bendungan Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah; akibat sidementasi di daerah hulunya Sungai Bengawan Solo yang sangat cepat, maka usia pemakain bendungan akan lebih pendek dibanding dengan perkiraan semula.

Yang ideal adalah apabila fungsi hutan di daerah hulu DAS dan fungsi bendungan dapat berjalan dan bersinergi dengan baik.

Kita harus mewaspadai perubahan iklim yang menjurus kepada krisis iklim. Krisis iklim di Indonesia dampaknya mulai terasa dengan berubahnya pola cuaca. Tidak terdeteksi lagi batasan antara musim hujan dan kemarau.

Dulu di bawah tahun 2000-an, kita mengenal musim hujan antara Oktober-April dan musim kemarau April-Oktober. Namun sekarang, bulan-bulan tersebut sudah tidak dapat dijadikan patokan lagi.

Faktanya sampai awal Mei 2024, hujan masih terus terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Bahkan untuk beberapa daerah, musim hujan menimbulkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau