Petani dengan luas lahan terbatas sangat terbantu dengan skema CSA. Konsumen dapat terlibat menyediakan lahan tersebut dalam bentuk sewa atau beli (lease/ buy).
Prinsipnya fitur solidaritas menjadi kekuatan pada model ini yang memungkinkan visi serta risiko dibagi di antara para pihak.
Tak hanya itu, pada CSA yang berada di lingkungan sekitar, membuat konsumen dapat terlibat dalam aktivitas bertani. Hal itu meningkatkan modal sosial mereka.
Bagaimana mereka mengetahui dan memahami dari mana dan bagaimana bahan pangannya diproduksi. Di Jepang, model yang mirip disebut sebagai “teikei” yang bermakna, “food with the farmer’s face on it” (Perry, 2010).
Pengalaman Amerika dan Inggris CSA mendorong rumah tangga, ibu dan anak, rajin memasak di rumah. Pada level individu dan rumah tangga terjadi peningkatan konsumsi buah dan sayur mayur, membuat mereka menjadi lebih sehat.
Bahkan perusahaan asuransi mau memberi program khusus, rabat 40 persen, bagi anggota CSA karena dipastikan tingkat kesehatan rumah tangga tersebut lebih bagus (Harmon, 2014).
Di Amerika, jaringan CSA telah memiliki platform atau aplikasi yang menghubungkan antara petani dengan konsumen. Sistem tersebut merekam volume permintaan seluruh konsumen pada tiap CSA.
Permintaan (demand) dan penawaran (supply) dapat direncanakan sedari awal produksi. Karena luas lahan tertentu, kelebihan produksi suatu CSA dapat disalurkan ke kanal lain: restoran, hotel, supermarket dan lainnya.
Skema CSA relevan bagi Indonesia di mana banyak petani miliki lahan terbatas (gurem), bahkan tak punya sama sekali (buruh).
Solidaritas konsumen dalam pendanaan dan pasar dapat memutus mata rantai sistem ijon yang merugikan mereka. Keseimbangan permintaan dan penawaran dapat mengurangi potensi food loss and waste.
Kesadaran konsumen pada ujungnya mendorong (baca: menuntut) petani berproduksi lebih baik, mengurangi pestisida atau beralih ke sistem organik.
Pada konteks Indonesia, koperasi CSA dapat bekerjasama dengan organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang memiliki ratusan ribu tanah wakaf. Kemitraan saling menguntungkan dapat dikembangkan.
Namun yang terpenting adalah bagaimana menyediakan pangan berkualitas bagi jamaah masing-masing. Juga membuka peluang terciptanya lapangan kerja baru dengan perluasan demplot.
Program perhutanan sosial juga dapat mengadopsinya. CSA peternakan atau perkebunan dapat dikembangkan oleh masyarakat setempat.
CSA berkembang efektif secara melokal (local embeddedness), di mana demplot-demplot pertanian berada dekat dengan komunitas konsumen.
Kedekatan itu membuat efisien dalam pengantaran dan bahan pangan diterima konsumen masih segar.
Boleh jadi salah satu tantangannya adalah mengubah perilaku konsumen, dari belanja harian menjadi mingguan atau dua kali seminggu. Untungnya 63,67 persen masyarakat kita memiliki lemari pendingin/kulkas (BPS, 2022).
Diversifikasi produk dapat dilakukan dengan koordinasi antara satu kelompok petani dengan lainnya. Tujuannya agar anggota CSA memiliki banyak pilihan menu dan tidak bosan.
Salah satu inisiatif CSA di Indonesia ada di Bandung, di mana konsumen dapat memilih beberapa paket. Misalnya Paket Small dengan harga Rp 220.000 berisi 6-8 varian sayur organik. Paket itu cukup untuk konsumsi dua orang. Paket dikirim 4 kali per bulan dengan volume 2 kg setiap pengiriman (Haniyah, dkk., 2022).
CSA dengan model sirkular ekonomi, yang menghubungkan antara pertanian, peternakan, perikanan budidaya dan/atau perkebunan, dapat melipatgandakan nilai.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya