Produktivitas pertanian dapat meningkat dengan mengusung zero-waste farming. Nilai tambah masih dapat diciptakan dengan memanfaatkan demplot sebagai ruang eduwisata bagi sekolah sekitar.
Bagaimana mengenalkan dan memberi pengalaman langsung kepada siswa/siswi untuk bercocok tanam atau memanen sayur, buah dan lainnya.
Pola sirkuler dengan nilai tambah berlipat ganda semacam itu dapat mendorong generasi muda (Y dan Z) masuk ke sektor pertanian. Sebabnya, mereka memperoleh penghasilan yang bagus, adanya kepastian pasar dan pendanaan, serta eduwisata memberi ruang kreativitas bagi mereka. Singkatnya, bertani menjadi keren.
Di Amerika dan Inggris, CSA banyak beroperasi berbasis koperasi (multi pihak). Di mana anggota mereka terdiri dari Kelompok Produsen, Kelompok Konsumen dan ada juga Kelompok Pendukung (aktivis, investor atau lainnya).
Model multi pihak tersebut tepat untuk menghubungkan produsen-konsumen dalam ekosistem tertutup. Meski demikian, ditemukan CSA tidak berbadan hukum atau badan hukum lain (Henderson, 2007).
Kehadiran koperasi sebagai operating system dapat meningkatkan jangkauan CSA. Pada investasi untuk pengadaan atau pembelian dedicated asset tertentu, koperasi lebih aman bagi para pihak. Di mana aset akan tercatat sebagai aset koperasi.
Hal itu cukup sulit dilakukan pada CSA tanpa badan hukum atau badan hukum lain, yakni siapa pemilik aset tersebut.
CSA perkotaan atau periperal dalam bentuk greenhouse membutuhkan investasi tidak sedikit. Sumber daya kelompok tani boleh jadi terbatas untuk membangunnya.
Anggota konsumen dapat berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur tersebut. Bila masih kurang, dapat mengundang anggota lainnya, investor.
Di mana anggota investor boleh jadi, karena jarak/domisili, tidak melakukan pembelian produk sama sekali. Namun mereka berkontribusi dalam investasi aset.
Bayangkan satu koperasi CSA bekerja untuk beberapa desa/kelurahan dengan sistem multi-farm (banyak demplot).
Koperasi berperan dalam mengagregasi dua pihak: produsen dan konsumen; Mengadministrasi dan mengelola transaksi; Mengoordinasi dan mengadakan input pasokan; Memoderasi aspirasi konsumen; Menjaga standar budidaya (good agricultural practices); Melakukan inovasi produk; Meningkatkan kapasitas petani; Melakukan pemasaran atas kelebihan produksi; Serta mengendalikan dan mengamankan aset bersama, bila ada.
Dalam struktur tata kelolanya, masing-masing pihak memiliki wakil yang duduk sebagai Pengurus dan Pengawas.
Pada Rapat Anggota, Kelompok Produsen akan menyampaikan perspektif kepentingan dan dinamika produksi. Sedangkan Kelompok Konsumen mendorong aspirasi konsumsi mereka.
Dalam musyawarah deliberatif, para pihak mencari solusi bersama dengan memastikan nilai yang wajar, adil dan berkelanjutan bagi keduanya.
Ujungnya, desentralisasi produksi-distribusi dapat menekan angka food loss di Indonesia. Tak perlu lagi sayur dimuat dari petani oleh pengepul ke pasar induk dan lalu didistribusikan ke pasar lokal.
Cukup dari demplot petani langsung dikirim ke rumah konsumen. Bila ada 30.000 CSA seperti di Amerika, food loss pasti berkurang.
Secara kelembagaan, koperasi multi pihak kompatibel bagi CSA dan tersedia banyak contohnya. Memang butuh waktu untuk mengembangkannya seperti pengalaman masyarakat Amerika, Inggris, Jepang, Selandia Baru dan banyak lainnya.
Namun, pada bangsa yang memiliki 161 kosa kata lokal untuk menyebut “gotong royong” (Purna dkk., 1996), harusnya hal itu lebih mudah bagi kita, bukan?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya