Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BRIN: Indonesia Terlindungi dari Gelombang Panas karena Awan

Kompas.com, 15 Mei 2024, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Profesor Riset bidang Meteorologi, Pusat Riset Iklim, dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan mengatakan, Indonesia terlindung dari gelombang panas karena ada awan yang menutupi.

Eddy menuturkan, gelombang panas adalah suatu kondisi di mana keadaan suhu rata-rata melebihi batas ambang normal selama lebih dari 30 hingga 40 tahun.

Dia menambahkan, apabila suhu di kawasan tertentu berkisar 27 hingga 28 derajat celsius, tetapi pada saat itu melonjak dengan deviasi diatas lima menjadi 33 hingga 34 derajat celsius selama empat hingga lima hari, dapat didefinisikan kawasan tersebut mengalami gelombang panas.

Baca juga: Ratusan Ribu Ikan di Vietnam Mati saat Gelombang Panas

Dia menambahkan, yang perlu menjadi perhatian adalah durasi dan amplitudo suhu tinggi.

"Jika hanya sesaat saja, misalnya hanya satu hari dan nilainya pun tidak melebihi deviasi cukup besar, tentu belum didefinisikan sebagai gelombang panas," ujar Eddy dikutip dari situs web BRIN, Selasa (14/5/2024).

Eddy menuturkan, wilayah Indonesia hampir setiap hari diselimuti awan. Hal itu tak lepas dari geografis Indonesia yang dua pertiganya berupa lautan dan sepertiganya adalah daratan.

"Dengan lima pulau besar dan 17.548 pulau, di mana masing-masing pulau menghasilkan konveksi lokal dan konveksi regional sehingga menghasilkan awan. Alhasil kawasan kita Indonesia ini relatif aman dari bahaya gelombang panas," ucap Eddy.

Dia menambahkan, awan menjadi penghalau gelombang panas yang efektif. Apabila sebuah kawasan tidak memiliki awan, maka rentan mengalami gelombang panas.

Baca juga: PLTS Selamatkan Eropa dari Krisis Energi akibat Gelombang Panas

Eddy berujar, kawasan yang terpapar gelombang panas biasanya kawasan atau negara yang didominasi oleh daratan seperti India, Thailand, Brasil, atau Afrika.

Kapan puncak suhu panas?

Menurut Eddy, belum diketahui dengan pasti kapan periode suhu panas akan segera berakhir.

Namun, merujuk analisisnya berbasis perilaku data Indian Ocean Dipole (IOD) di Samudera Hindia, kawasan barat Indonesia dan kawasan Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa sudah mengalami suhu panas sejak April.

Kondisi suhu di kawasan itu diprediksi terus naik hingga mencapai puncaknya sekitar Juli nanti.

Hal ini diperparah dengan mulai berhembusnya angin timuran yang bergerak melintasi kawasan Indonesia seiring dengan bergeraknya posisi matahari meninggalkan garis ekuator sejak 21 Maret, bergerak semu menuju belahan bumi utara (BBU).

Baca juga: BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas di RI, Bukan Heatwave

Sementara itu, kondisi uap air di kawasan barat Indonesia yang ditarik ke arah timur pantai timur Afrika, ada angin timuran yang berasal dari gurun di bagian utara Australia mulai merangkak memasuki kawasan Indonesia.

"Gerbang utama yang akan menerima kondisi ini adalah kawasan NTT (Nusa Tenggara Timur), diikuti NTB (Nusa Tenggara Barat), Bali, Jawa Timur, dan seterusnya,” kata Eddy.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Ancam Kota Pesisir di Dunia, Risikonya Terus Meningkat
Banjir Ancam Kota Pesisir di Dunia, Risikonya Terus Meningkat
Pemerintah
Lubang Ozon di Antartika Menyusut, Tanda Bumi Mulai Pulih?
Lubang Ozon di Antartika Menyusut, Tanda Bumi Mulai Pulih?
Pemerintah
Tanah, Tangan, dan Tutur: Model Komunikasi Budaya Lokal Melawan Komodifikasi
Tanah, Tangan, dan Tutur: Model Komunikasi Budaya Lokal Melawan Komodifikasi
LSM/Figur
Penelitian Ungkap Kaitan Terumbu Karang dan Kenaikan Suhu Bumi
Penelitian Ungkap Kaitan Terumbu Karang dan Kenaikan Suhu Bumi
Swasta
Ekoteologi Didorong jadi Gerakan Pendidikan Nasional
Ekoteologi Didorong jadi Gerakan Pendidikan Nasional
Pemerintah
Lebih dari 70 Jenis Hiu Kini Dilindungi dan Diperketat Perdagangannya
Lebih dari 70 Jenis Hiu Kini Dilindungi dan Diperketat Perdagangannya
Pemerintah
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
Cuaca Ekstrem di Sumatera Dipicu Anomali Siklon Tropis, Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
6 Cara Sederhana Mengurangi Food Waste di Rumah
Swasta
Potensi Panas Bumi Capai 2.160 GW, RI Bisa Buka 650.000 Lapangan Kerja Baru
Potensi Panas Bumi Capai 2.160 GW, RI Bisa Buka 650.000 Lapangan Kerja Baru
LSM/Figur
Sumatera Dikepung Air: Krisis Ruang dan Kegagapan Informasi
Sumatera Dikepung Air: Krisis Ruang dan Kegagapan Informasi
Pemerintah
Siklon Tak Wajar Picu Bencana di Sumatera Barat, Sedang Diteliti UNAND
Siklon Tak Wajar Picu Bencana di Sumatera Barat, Sedang Diteliti UNAND
LSM/Figur
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
Pemerintah
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Pemerintah
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau