JAKARTA, KOMPAS.com - Studi “Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas menunjukkan, banyak manfaat jika dana Just Energy Transition Partnership (JETP) diberikan untuk pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas.
Berdasarkan hasil studi yang diluncurkan oleh 350.org dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) tersebut, energi terbarukan berbasis komunitas dapat menciptakan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga Rp 10.529 triliun selama 25 tahun.
Tak hanya itu, Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan banyak dampak positif dari energi terbarukan berbasis komunitas.
“Dari sisi PDB, dari sisi pendapatan pekerja, dari sisi penerimaan pajak, karena biasanya ujung-ujung pemerintah nanya ada enggak pajaknya?” ujar Bhima saat peluncuran studi “Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas” di Jakarta Pusat, Senin (20/5/2024).
Baca juga: Elon Musk: Kombinasi PLTS dan Baterai Selesaikan Masalah Energi Dunia
Energi terbarukan berbasis komunitas ini juga mengatasi pengangguran dan meningkatkan lapangan kerja, menjawab persoalan sosial.
Saat pemerintah mencari cara agar tingkat pengangguran bisa turun di daerah, ia menyebut pengembangan energi berbasis komunitas bisa menjadi salah satu solusi.
“Dampak positif energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang. Dari sisi ketenagakerjaan, ada peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit,” imbuhnya.
Menurut Bhima, peluang pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas bisa berasal salah satunya dari komitmen JETP.
“Jika 50 persen dana JETP yang sebesar US$20 miliar dialokasikan untuk mengembangkan energi terbarukan skala komunitas, maka dapat menghasilkan kapasitas 2,18 GW,” ujar Bhima.
Artinya, pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit PLTU setara Cirebon-1 yang memiliki kapasitas 660 megawatt (MW).
Baca juga: Wujudkan Transisi Energi, GE Vernova Fokus Kelistrikan dan Dekarbonisasi
Sementara itu, Field Organizer 350 Indonesia Suriadi Darmoko mengatakan, dengan memberikan dana JETP kepada masyarakat, transisi energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dapat terlaksana.
Selain itu, dapat membantu masyarakat dalam hal ekonomi, alih-alih memberikan pinjaman dana kepada perusahaan besar yang masih mendukung energi fosil.
“Karena kita melihat tren atau kecenderungan pada saat awal JETP diluncurkan, tren pendanaannya ini kira-kira kami melihatnya pendanaan dari JETP akan jatuh pada pemain energi fosil,” ujar Moko.
“Padahal harusnya pemain energi fosil tidak perlu lagi mendapat bantuan pendanaan, melainkan dia harus menggunakan keuntungannya untuk melakukan transisi bisnis ke energi terbarukan dan meninggalkan energi fosil,” imbuhnya.
Menambahkan, Bhima menyebut ada setidaknya lima alasan energi terbarukan berbasis komunitas perlu didukung.
Baca juga: IPA Convex 2024 Digelar, Jadi Momentum Ketahanan Energi Berkelanjutan
Seperti disampaikan sebelumnya, mereka dapat menciptakan sumber ekonomi baru termasuk membuka lapangan kerja, mendorong industrialisasi skala kecil, dan menumbuhkan UMKM.
Lalu, energi berbasis komunitas dapat menjangkau daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).
“Kemudian, mendorong transisi energi yang berkeadilan dengan pelibatan masyarakat langsung,” tutur dia.
Lalu, memiliki biaya investasi lebih murah dibanding proyek skala besar. Serta mendorong ketahanan energi tanpa bergantung pada sumber fosil.
“Jadi, memberikan uang kepada perusahaan skala besar, versus memberikan uang yang mungkin secara teknis akan lebih rumit tapi harus dilakukan ke usaha skala kecil yang jumlahnya banyak secara kuantitas atau volume, secara ekonomi bisa lebih besar,” papar dia.
Saat berbicara mengenai transisi energi yang berkeadilan, tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemerataan ekonomi.
Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dinilai mampu berdampak pada penurunan ketimpangan antar wilayah selama 20 tahun, dengan implementasi dari 0,74 ke 0,71. Menurutnya, energi berbasis komunitas sangat cocok diterapkan di Indonesia.
“Kajian ini diharapkan dapat membuka mata para pengambil kebijakan untuk menggeser kebijakan transisi energi yang selama ini hanya berfokus pada pembangkit skala besar yang justru rentan menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat lokal,” pungkas Bhima.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya