Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

JETP Harus Lirik Energi Terbarukan Berbasis Komunitas yang Pangkas Kemiskinan 16 Juta Orang

Kompas.com, 21 Mei 2024, 06:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Studi “Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas menunjukkan, banyak manfaat jika dana Just Energy Transition Partnership (JETP) diberikan untuk pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas.

Berdasarkan hasil studi yang diluncurkan oleh 350.org dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) tersebut, energi terbarukan berbasis komunitas dapat menciptakan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga Rp 10.529 triliun selama 25 tahun.

Tak hanya itu, Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan banyak dampak positif dari energi terbarukan berbasis komunitas.

“Dari sisi PDB, dari sisi pendapatan pekerja, dari sisi penerimaan pajak, karena biasanya ujung-ujung pemerintah nanya ada enggak pajaknya?” ujar Bhima saat peluncuran studi “Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas” di Jakarta Pusat, Senin (20/5/2024).

Baca juga: Elon Musk: Kombinasi PLTS dan Baterai Selesaikan Masalah Energi Dunia

Energi terbarukan berbasis komunitas ini juga mengatasi pengangguran dan meningkatkan lapangan kerja, menjawab persoalan sosial.

Saat pemerintah mencari cara agar tingkat pengangguran bisa turun di daerah, ia menyebut pengembangan energi berbasis komunitas bisa menjadi salah satu solusi.

“Dampak positif energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang. Dari sisi ketenagakerjaan, ada peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit,” imbuhnya.

Perlu pendanaan JETP

Menurut Bhima, peluang pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas bisa berasal salah satunya dari komitmen JETP.

“Jika 50 persen dana JETP yang sebesar US$20 miliar dialokasikan untuk mengembangkan energi terbarukan skala komunitas, maka dapat menghasilkan kapasitas 2,18 GW,” ujar Bhima.

Artinya, pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit PLTU setara Cirebon-1 yang memiliki kapasitas 660 megawatt (MW).

Baca juga: Wujudkan Transisi Energi, GE Vernova Fokus Kelistrikan dan Dekarbonisasi

Sementara itu, Field Organizer 350 Indonesia Suriadi Darmoko mengatakan, dengan memberikan dana JETP kepada masyarakat, transisi energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dapat terlaksana.

Selain itu, dapat membantu masyarakat dalam hal ekonomi, alih-alih memberikan pinjaman dana kepada perusahaan besar yang masih mendukung energi fosil.

“Karena kita melihat tren atau kecenderungan pada saat awal JETP diluncurkan, tren pendanaannya ini kira-kira kami melihatnya pendanaan dari JETP akan jatuh pada pemain energi fosil,” ujar Moko.

“Padahal harusnya pemain energi fosil tidak perlu lagi mendapat bantuan pendanaan, melainkan dia harus menggunakan keuntungannya untuk melakukan transisi bisnis ke energi terbarukan dan meninggalkan energi fosil,” imbuhnya.

Menambahkan, Bhima menyebut ada setidaknya lima alasan energi terbarukan berbasis komunitas perlu didukung.

Baca juga: IPA Convex 2024 Digelar, Jadi Momentum Ketahanan Energi Berkelanjutan

Seperti disampaikan sebelumnya, mereka dapat menciptakan sumber ekonomi baru termasuk membuka lapangan kerja, mendorong industrialisasi skala kecil, dan menumbuhkan UMKM.

Lalu, energi berbasis komunitas dapat menjangkau daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).

“Kemudian, mendorong transisi energi yang berkeadilan dengan pelibatan masyarakat langsung,” tutur dia.

Lalu, memiliki biaya investasi lebih murah dibanding proyek skala besar. Serta mendorong ketahanan energi tanpa bergantung pada sumber fosil.

“Jadi, memberikan uang kepada perusahaan skala besar, versus memberikan uang yang mungkin secara teknis akan lebih rumit tapi harus dilakukan ke usaha skala kecil yang jumlahnya banyak secara kuantitas atau volume, secara ekonomi bisa lebih besar,” papar dia.

Saat berbicara mengenai transisi energi yang berkeadilan, tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemerataan ekonomi.

Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dinilai mampu berdampak pada penurunan ketimpangan antar wilayah selama 20 tahun, dengan implementasi dari 0,74 ke 0,71. Menurutnya, energi berbasis komunitas sangat cocok diterapkan di Indonesia.

“Kajian ini diharapkan dapat membuka mata para pengambil kebijakan untuk menggeser kebijakan transisi energi yang selama ini hanya berfokus pada pembangkit skala besar yang justru rentan menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat lokal,” pungkas Bhima.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau