KOMPAS.com — Policy Strategist CERAH, Al Ayubi, menilai kenaikan tarif royalti minerba semestinya dimanfaatkan secara strategis untuk mendukung transisi energi.
Pernyataan ini disampaikannya menanggapi keputusan pemerintah yang menaikkan tarif royalti mineral dan batu bara melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18/2025 dan PP Nomor 19/2025 pada Jumat (9/5/2025).
Kenaikan tarif ini diperkirakan akan meningkatkan pendapatan negara. Namun menurut Ayubi, dana tambahan tersebut tidak boleh sekadar menjadi pemasukan fiskal, melainkan harus diarahkan secara terukur untuk mempercepat transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Kenaikan royalti jangan hanya dipandang sebagai tambahan pendapatan negara, tetapi harus menjadi momentum perbaikan tata kelola industri ekstraktif dalam mengakselerasi transisi energi,” ujar Al Ayubi dalam keterangan resminya.
Ia menekankan pentingnya pengalokasian dana secara jelas untuk pembangunan sektor energi hijau, baik dalam bentuk subsidi energi terbarukan maupun insentif bagi investasi ramah lingkungan.
Urgensi ini muncul karena dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah baru mengalokasikan sekitar Rp34,2 triliun per tahun untuk energi terbarukan, masih jauh dari kebutuhan riil yang mencapai Rp148,3 triliun per tahun.
Akibatnya, target bauran energi nasional dan komitmen pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC) terus menghadapi kendala.
Data dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa pada periode 2019–2021, investasi swasta masih didominasi energi fosil dengan porsi 73,4 persen, sedangkan energi terbarukan hanya mendapat 26,6 persen.
Menurut Ayubi, kesenjangan pendanaan ini menjadi penghambat utama bagi transisi energi di Indonesia.
“Oleh karena itu, adanya dana tambahan dari kenaikan royalti minerba harus segera dialokasikan untuk menutup celah pendanaan energi terbarukan,” tegasnya.
Baca juga: Transisi Energi Indonesia: Banyak Coba-coba, Belum Fokus pada yang Terbarukan
Senada dengan Ayubi, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menekankan bahwa kebijakan royalti semestinya menjadi instrumen strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara.
“Dana ini harus digunakan untuk mengurangi produksi batu bara dan penghentian operasional PLTU pada jaringan listrik PT PLN (Persero) maupun yang dibangun khusus untuk kebutuhan tertentu (PLTU Captive), seperti di kawasan hilirisasi mineral,” ujar Aryanto.
Pasalnya, RPJMN 2025–2029 masih mematok produksi batu bara sebesar 700 juta ton per tahun, jauh melampaui batas aman yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yakni 400 juta ton.
Karena itu, Aryanto menilai bahwa kenaikan royalti seharusnya menjadi instrumen korektif dalam tata kelola sektor energi, agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat, terutama yang terdampak langsung oleh industri ekstraktif.
“Pemerintah sebaiknya tidak mengalokasikan tambahan pendapatan dari kenaikan royalti untuk proyek hilirisasi lainnya yang terbukti tidak ekonomis dan tidak ramah lingkungan,” tegas Aryanto.
Sebagai informasi, dalam kebijakan terbaru ini pemerintah menerapkan tarif royalti progresif untuk mineral seperti nikel—dari tarif tunggal 10 persen menjadi 14–19 persen, menyesuaikan Harga Mineral Acuan (HMA).
Sementara itu, untuk batu bara, penyesuaian dilakukan berdasarkan jenis izin, royalti untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik, sedangkan untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) justru turun.
Baca juga: 18 Negara Bagian Gugat Trump karena Hentikan Proyek Energi Angin
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya