Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Alasan Tahun 2025 Jadi Titik Balik Ekonomi Biru

Kompas.com - 11/05/2025, 11:32 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Editor

KOMPAS.com - Lautan adalah tulang punggung ekonomi global. Ia mengangkut lebih dari 80 persen volume perdagangan dunia, menopang kehidupan 500 juta orang melalui perikanan skala kecil dan kegiatan terkait, serta menjadi sumber pangan bagi lebih dari 3 miliar penduduk.

Lebih dari itu, lautan adalah paru-paru planet: menghasilkan 50 persen oksigen dan menyerap lebih dari 25 persen karbon dioksida akibat aktivitas manusia. Tak heran, transisi menuju ekonomi yang positif bagi alam dan berkelanjutan tak mungkin terjadi tanpa ekonomi biru yang sehat.

Namun, meski penting, investasi di sektor kelautan masih jauh dari target pendanaan 1,5 triliun dollar AS (dari pasar sovereign) dan 1 triliun dollar AS (dari pasar swasta) yang dibutuhkan hingga tahun 2030. Kesenjangan pendanaan ini krusial untuk diatasi, dan sektor keuangan memegang peran kunci.

Lima tahun ke depan adalah masa penentu, dengan tahun 2025 menonjol sebagai potensi titik balik, terutama karena dua agenda penting: Blue Economy and Finance Forum (BEFF) dan Third UN Ocean Conference (UNOC3) yang keduanya akan berlangsung pada Juni 2025.

Seperti dilansir laman World Economic Forum, ada empat alasan utama mengapa momentum ekonomi biru regeneratif bisa terakselerasi tajam di tahun 2025:

Bisnis dan investor semakin peduli pada alam

Degradasi ekosistem kini dirasakan langsung oleh banyak perusahaan, memicu antusiasme yang belum pernah terjadi sebelumnya. Buktinya, 3.000 perwakilan bisnis dan lembaga keuangan hadir di UN Biodiversity Conference (COP16) pada November 2024, tiga kali lipat dari pertemuan sebelumnya.

Mereka sadar, laut yang lestari menawarkan manfaat ekonomi bersih positif lebih dari 15 triliun dollar AS, setara 15 persen PDB global. Diskusi pun bergeser dari "mengapa" berinvestasi ke "bagaimana" dan "di mana."

Investasi biru tak hanya menguntungkan finansial, tapi juga strategis, mendukung transisi energi dan menciptakan manfaat sosial-lingkungan, seperti yang ditunjukkan laporan World Economic Forum, Nature Positive: Role of Ports, yang menyoroti peluang bagi pelabuhan untuk menjadi "positif bagi alam."

Solusi pendanaan kelautan berkembang pesat

Mekanisme inovatif untuk menjembatani kesenjangan pendanaan semakin matang. Laporan Standard Chartered, Towards a Sustainable Ocean: Where There’s a Will, There’s a Wave, memetakan berbagai instrumen, dari pinjaman dan obligasi biru hingga blended finance dan skema kredit lingkungan.

Inovasi seperti "debt-for-nature" atau "debt-for-sustainability" telah mendemonstrasikan dampaknya; melalui transaksi seperti yang didukung Standard Chartered di Bahama, pendanaan konservasi laut sebesar 124 dollar AS juta berhasil dibuka, berkontribusi pada hampir dua kali lipat peningkatan dana konservasi laut dalam beberapa tahun singkat.

Baca juga: CarbonEthics Raup Rp 31,8 Miliar Kembangkan Karbon Biru

Hambatan investasi utama mulai teratasi

Pemerintah di berbagai tingkatan semakin gencar menerapkan kebijakan kelautan, mulai dari pembatasan polusi hingga pengelolaan perikanan berkelanjutan. Di tingkat global, Target 3 dari Global Biodiversity Framework menyerukan perlindungan 30% daratan dan lautan pada 2030 (30x30).

Namun, efektivitasnya bergantung pada pengelolaan laut lepas yang mencakup dua pertiga samudra. Ratifikasi High Seas Treaty menjadi sangat penting, dan UNOC 2025 akan menjadi panggung krusial untuk mendorong kemajuan ini, sekaligus menghilangkan ketidakpastian bagi investor.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau