Sumber energi kita secara nasional Indonesia semakin didominasi oleh batu bara. Pasokannya meningkat dari sekitar 26 persen di 2012 menjadi 41 persen di 2022 (Kemen ESDM, 2023).
Sejatinya, Indonesia telah menghasilkan energi terbarukan signifikan, seperti energi surya dan biofuel. Dari 2012-2022, kontribusinya meningkat dari 8 persen menjadi 11 persen total pasokan energi nasional.
Namun demikian, angka ini masih dianggap minimal, karena hanya sekitar 2 persen dari potensinya yang terealisasikan.
Lalu, dari sisi sosial, komitmen rendah-karbon Indonesia membutuhkan usaha yang lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan masyarakat. Meski mulia misinya, JETP misalnya, mendapat kritik publik karena dianggap terlalu elitis atau eksklusif.
Komunikasi publiknya dianggap belum efisien, misalnya seringnya hanya dijelaskan dalam bahasa Inggris. Sebagian publik melihatnya sebagai pengaruh dan tekanan asing yang membahayakan kedaulatan ekonomi bangsa.
Tantangan-tantangan di atas menuntut navigasi yang efektif dari Pemerintahan Prabowo ke depan. Yang paling mendesak, pertama, adalah memastikan bahwa terdapat kepastian dan sinkronisasi regulasi terkait transisi energi.
Jika memang batu bara masih sentral perannya dalam ekonomi, maka target-target nol emisi yang ambisius di atas perlu dipertimbangkan dan dipelajari kembali.
Memang ada kekhawatiran, misalnya, apakah Indonesia masih akan dipandang berkomitmen terhadap pembangunan hijau.
Namun, harus diperhatikan bahwa transisi energi memerlukan investasi yang besar. Kepastian regulasi menjadi isu lebih mendesak bagi investasi ketimbang target-target ambisius yang tak pasti kapan tercapainya.
Kompromi ini juga sedianya bisa mendesak negara-negara maju untuk mau mengeluarkan dana investasi dan dana hibahnya untuk membantu negara-negara seperti Indonesia untuk mencapai nol emisi lebih cepat.
Kedua, komitmen transisi energi di era Prabowo perlu senantiasa dinarasikan lebih sederhana dan dikomunikasikan kepada masyarakat sampai tingkat akar rumput.
Upaya ini harapannya memunculkan dukungan publik yang makin luas terhadap, khususnya, agenda transisi energi dan, umumnya, pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, pemerintahan baru perlu memprioritaskan kerja sama dengan organisasi sosial seperti kelompok-kelompok mahasiswa dan buruh serta organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Mereka dapat membantu, misalnya, mengubah narasi ilmiah terkait menjadi berbagai narasi dan fatwa yang mengena, khususnya dengan aspirasi budaya dan keagamaan masyarakat.
Indonesia sebenarnya bisa belajar dari kisah suksesnya sendiri dalam transisi energi. Pada 2007, pemerintahan saat itu meluncurkan transisi secara nasional dari minyak tanah ke gas (LPG) untuk memasak.
Selain karena kebijakan ini ‘buatan dalam negeri’ (home-grown), keberhasilan transisi ini didukung oleh beberapa aspek, termasuk keterlibatan dan komunikasi publik yang efektif.
Agenda transisi energi harapannya dipandang publik sebagai kebutuhan mendesak dari dalam negeri, bukan karena intervensi asing. Dengan demikian, parpol-parpol pun akan lebih mudah mengubah arah dukungan mereka dan all-out mendukung agenda tersebut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya