AGENDA ekonomi rendah karbon, khususnya melakukan percepatan transisi energi menjadi salah satu komitmen penting dari Presiden terpilih Indonesia 2024-2029 Prabowo Subianto.
Berbagai dinamika tentu menyertai agenda ini, yang pastinya perlu diantisipasi dengan hati-hati.
Setidaknya, agenda ekonomi hijau Indonesia dapat ditelusuri dari 1998. Indonesia secara politik ‘diwajibkan’ oleh IMF untuk mengurangi subsidi bahan bakar fosil-nya, khususnya untuk BBM, yang boros nan mubazir. Langkah ini kurang berhasil dan berujung instabilitas politik.
Berbagai rezim pemerintahan kemudian berupaya melanjutkan kebijakan ini. Ada suksesnya, tapi banyak juga gagalnya. Sebabnya: demonstrasi mahasiswa dan buruh serta perlawanan dari partai-partai politik di DPR.
Jika dirunut, beberapa partai pendukung Prabowo pada pemilu 2024 lalu, Gerindra dan Demokrat, misalnya, adalah penentang keras dari kebijakan pengurangan subsidi BBM.
Beberapa narasi yang digadang: reformasi subsidi BBM menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.
Sementara, banyak ahli jelas menegaskan bahwa kesuksesan pengurangan subsidi BBM akan mendukung kesuksesan ekonomi rendah karbon, khususnya transisi energi.
Sebaliknya, jika transisi energi tak jadi agenda, maka pembangunan ekonomi dan kemakmuran yang berkelanjutan sulit tercapai.
Sementara itu, agenda transisi energi jelas telah menjadi komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, sekaligus Presiden terpilih Prabowo.
Dalam Enhanced NDC-nya (2022), Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sekitar 32 persen tanpa syarat atau 43 persen dengan syarat pada 2030.
Selain itu, lewat perjanjian politik Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berencana mengakhiri penggunaan energi listrik berbasis batu bara dan mencapai puncak nol emisi karbon pada 2050.
Komitmen ‘hijau’ di atas mengindikasikan bahwa proses transisi energi akan berjalan lebih dari satu atau dua dekade, yang berpotensi menghadapi beberapa tantangan berikut.
Dari sisi politik, ini jelas menuntut komitmen dan konsensus politik serius dan jangka panjang. Sayangnya, rekam dinamika sikap politik para parpol di atas mensinyalkan bahwa transisi energi di Indonesia akan cukup menantang.
Kompromi politik di dalam pemerintah kemungkinan akan berjalan alot. Sebab, parpol-parpol pemerintah, seperti Gerindra dan Demokrat, yang awalnya antireformasi subsidi energi harus mengubah arah sikap politiknya, sambil tetap menjaga dukungan politik dari masyarakat.
Pada ahli sepakat bahwa proses tersebut tak mudah. Dari sisi ekonomi, batu bara masih dianggap sebagai komoditas ekspor primadona. Ini tercermin, misalnya, dalam Nota Keuangan 2022.
Sumber energi kita secara nasional Indonesia semakin didominasi oleh batu bara. Pasokannya meningkat dari sekitar 26 persen di 2012 menjadi 41 persen di 2022 (Kemen ESDM, 2023).
Sejatinya, Indonesia telah menghasilkan energi terbarukan signifikan, seperti energi surya dan biofuel. Dari 2012-2022, kontribusinya meningkat dari 8 persen menjadi 11 persen total pasokan energi nasional.
Namun demikian, angka ini masih dianggap minimal, karena hanya sekitar 2 persen dari potensinya yang terealisasikan.
Lalu, dari sisi sosial, komitmen rendah-karbon Indonesia membutuhkan usaha yang lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan masyarakat. Meski mulia misinya, JETP misalnya, mendapat kritik publik karena dianggap terlalu elitis atau eksklusif.
Komunikasi publiknya dianggap belum efisien, misalnya seringnya hanya dijelaskan dalam bahasa Inggris. Sebagian publik melihatnya sebagai pengaruh dan tekanan asing yang membahayakan kedaulatan ekonomi bangsa.
Tantangan-tantangan di atas menuntut navigasi yang efektif dari Pemerintahan Prabowo ke depan. Yang paling mendesak, pertama, adalah memastikan bahwa terdapat kepastian dan sinkronisasi regulasi terkait transisi energi.
Jika memang batu bara masih sentral perannya dalam ekonomi, maka target-target nol emisi yang ambisius di atas perlu dipertimbangkan dan dipelajari kembali.
Memang ada kekhawatiran, misalnya, apakah Indonesia masih akan dipandang berkomitmen terhadap pembangunan hijau.
Namun, harus diperhatikan bahwa transisi energi memerlukan investasi yang besar. Kepastian regulasi menjadi isu lebih mendesak bagi investasi ketimbang target-target ambisius yang tak pasti kapan tercapainya.
Kompromi ini juga sedianya bisa mendesak negara-negara maju untuk mau mengeluarkan dana investasi dan dana hibahnya untuk membantu negara-negara seperti Indonesia untuk mencapai nol emisi lebih cepat.
Kedua, komitmen transisi energi di era Prabowo perlu senantiasa dinarasikan lebih sederhana dan dikomunikasikan kepada masyarakat sampai tingkat akar rumput.
Upaya ini harapannya memunculkan dukungan publik yang makin luas terhadap, khususnya, agenda transisi energi dan, umumnya, pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, pemerintahan baru perlu memprioritaskan kerja sama dengan organisasi sosial seperti kelompok-kelompok mahasiswa dan buruh serta organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Mereka dapat membantu, misalnya, mengubah narasi ilmiah terkait menjadi berbagai narasi dan fatwa yang mengena, khususnya dengan aspirasi budaya dan keagamaan masyarakat.
Indonesia sebenarnya bisa belajar dari kisah suksesnya sendiri dalam transisi energi. Pada 2007, pemerintahan saat itu meluncurkan transisi secara nasional dari minyak tanah ke gas (LPG) untuk memasak.
Selain karena kebijakan ini ‘buatan dalam negeri’ (home-grown), keberhasilan transisi ini didukung oleh beberapa aspek, termasuk keterlibatan dan komunikasi publik yang efektif.
Agenda transisi energi harapannya dipandang publik sebagai kebutuhan mendesak dari dalam negeri, bukan karena intervensi asing. Dengan demikian, parpol-parpol pun akan lebih mudah mengubah arah dukungan mereka dan all-out mendukung agenda tersebut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya