Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
firdaus cahyadi
Indonesia Team Lead Interim 350.org

Saat ini menjadi Indonesia Team Lead Interim 350.org. Lembaga 350.org sendiri adalah organisasi non-pemerintah internasional yang fokus mendorong transisi energi 100% energi terbarukan. Saat ini Firdaus Cahyadi juga sedang menempuh pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di IPB, Bogor

Menyempitnya Ruang Demokrasi dan Potensi Korupsi dalam Kebijakan Transisi Energi

Kompas.com - 19/06/2024, 15:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EMISI gas rumah kaca (GRK) di atmosfer terus meningkat dari tahun ke tahun. Laporan International Energy Agency (IEA), dalam kurun 20 tahun, emisi GRK sektor energi meningkat lebih dari tiga kali lipat.

Peningkatan itu menyebabkan kontribusi sektor energi mencapai 36 persen emisi GRK dunia. Semakin meningkat emisi GRK, semakin sulit kita mengendalikan krisis iklim.

Kini kesulitan dalam mengendalikan krisis iklim semakin nampak dari berbagai bencana ekologi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Laporan IPCC (2022), mengungkapkan dampak buruk krisis iklim telah membahayakan bumi dan seluruh isinya.

Menurut WMO dan UNDRR (2021), perubahan iklim telah memicu cuaca ekstrem di berbagai wilayah di dunia. Akibatnya, terjadi lonjakan frekuensi terjadinya bencana iklim selama 50 tahun terakhir.

Asia adalah salah satu wilayah di dunia yang rentan terdampak krisis iklim. Menurut laporan WMO (World Meteorological Organization) berjudul "State of the Climate in Asia 2023", mengungkapkan bahwa kecenderungan kenaikan pemanasan di Asia telah meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1961-1990.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang terdampak krisis iklim. Mayoritas bencana yang terjadi di Indonesia disebabkan krisis iklim.

Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan bahwa bencana yang terjadi pada 2023 didominasi kejadian hidrometeorologi akibat krisis iklim dengan 5.365 kejadian.

Tak heran kemudian muncul desakan internasional agar negara-negara melakukan sesegera mungkin transisi energi.

Desakan transisi energi bukan hanya ditujukan ke negara-negara maju, namun juga negara-negara berkembang.

Data dari Low Carbon Development Indonesia (LCDI) pada 2020, mengungkapkan bahwa negara-negara maju secara konstan berhasil menurunkan emisi di sektor energi sebesar 9 persen pada 2019.

Namun sebaliknya, emisi di sektor energi dari negara-negara berkembang justru memiliki tren meningkat.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang didesak melakukan transisi energi. Penyebabnya, Indonesia memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap energi fosil.

Indonesia memiliki proporsi energi fosil mencapai hampir 90 persen bauran energi primer.

Dalam konteks transisi energi di tingkat global, desakan transisi energi untuk Indonesia menjadi relevan karena negeri ini juga pengekspor batu bara terbesar di dunia.

Pada 2020, Indonesia mengekspor 390 juta ton batu bara. Dalam konteks itulah masyarakat internasional berkepentingan terhadap transisi energi di Indonesia.

Namun, transisi energi bukankah program murah. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Indonesia memerlukan dana sebesar 5,7 miliar dollar AS atau setara Rp 81,58 triliun untuk membiayai transisi energi bersih.

Besarnya pembiayaan transisi energi di Indonesia membuat risiko korupsi menjadi relevan untuk didiskusikan dalam proyek transisi energi di Indonesia.

Risiko korupsi di sektor transisi energi memiliki relasi dengan kertebukaan informasi. Semakin program transisi energi tidak transparan, semakin rentan dengan korupsi.

Sebaliknya, semakin terbuka program transisi energi, semakin kecil kemungkinan terjadi korupsi. Dengan keterbukaan informasi, publik dapat megawasi program transisi energi itu.

Di KTT G20 di Bali tahun 2022, Indonesia berhasil menggalang pendanaan transisi energi di Indonesia dari negara-negara maju yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang.

Skema pendanaan itu bernama Just Energy Transition Partnership (JETP). Negara-negara maju berjanji memberikan pendanaan sebesar 20 miliar dollar AS.

Di tengah praktik korupsi yang masih marak di negeri ini, pertanyaannya adalah apakah uang miliaran dollar AS itu juga akan selamat dari praktik korupsi?

Jawaban dari pertanyaan itu beragam, bisa iya dan tidak. Uang transisi energi akan selamat dari praktik korupsi bila dibangun sistem anti-korupsi sejak dalam perencanaan. Namun, bisa juga sebaliknya, jika sejak awal tidak dibangun sistem anti-korupsi.

Salah satu sistim anti-korupsi adalah transparansi. Korupsi adalah kegiatan pencurian yang menguntungkan pihak tertentu.

Pelaku pencurian tentu tidak akan bisa beraksi di tengah sistem yang transparan dan terang benderang.

Pelaku pencurian akan beraksi di dalam ruang gelap hingga tidak ada orang yang bisa melihat apapun yang terjadi di ruang itu.

Dari sini mulai terbangun relasi antara sistem anti-korupsi dan demokrasi. Demokrasi dan sistem anti-korupsi sama-sama mensyaratkan transparansi dan keterlibatan aktif masyarakat untuk mengontrol para pengambil kebijakan.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana tata kelola transisi energi di Indonesia? Sudahkah terang benderang dan terbuka bagi keterlibatan publik secara luas?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa berkaca pada skema JETP. Seperti banyak di beritakan di berbagai media massa, JETP diluncurkan saat KTT G20 di Bali tahun 2022.

Namun, sayangnya justru saat KTT G20 di Bali, terjadi penyimpitan ruang demokrasi. Menjalang KTT G20, aksi damai aktivis lingkungan hidup yang ingin menyampaikan pendapat dengan bersepeda dari Jakarta ke Bali, dilarang masuk ke Bali.

Bukan hanya itu, rapat internal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Bali dibubarkan dengan alasan KTT G20.

Dengan kata lain, peluncuran skema pendanaan transisi energi JETP dilakukan di tengah terjadinya represi yang luar biasa terhadap suara dari kelompok masyarakat sipil.

Menyempitnya ruang demokrasi juga tercermin dalam penyusunan CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan).

Menurut Koalisi masyarakat sipil #BersihkanIndonesia (2023), gerakan masyarakat sipil justru melihat bahwa substansi dokumen tidak mencerminkan keadilan.

Dalam dokumen White Paper CSO (2023), aspek keadilan yang disorot oleh gerakan masyarakat sipil antara lain dominasi utang luar negeri dalam skema pendanaan JETP dan juga tata kelola JETP yang dinilai tidak secara penuh melibatkan partisipasi masyarakat sipil.

JETP hanyalah salah satu skema pendanaan transisi energi di Indonesia. Banyak skema pendanaan transisi energi yang lainnya.

Jika dalam skema pendanaan JETP, yang diluncurkan di sela-sela KTT G20 saja transparansi dan ruang demokrasi menyempit, dapat dibayangkan bagaimana gelapnya skema pendanaan transisi energi di luar JETP?

Potensi korupsi pada kegiatan transisi energi harus dicegah. Caranya sederhana, buka lebar-lebar pintu informasi, sehingga publik bukan hanya bisa melihat secara transparan apa yang terjadi dalam kesepakatan-kesepakatan transisi energi, namun juga bisa terlibat di dalamnya.

Bagaimanapun juga persoalan energi adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga publik bukan hanya berhak, namun juga harus terlibat mendiskusikannya.

Melakukan keterbukaan informasi dalam perumusan kebijakan transisi energi memang hal sederhana, tapi itu menjadi hal rumit bagi segelintir elite di negeri ini, karena itu akan menutup celah korupsi dalam kebijakan transisi energi.

Satu-satunya cara, publik harus mendesakan keterbukaan informasi dalam kebijakan transisi energi ini, tidak perlu menunggu kebaikan hati elite negeri ini.

Publik juga perlu menyuarakan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar mengawal proses transisi energi di negeri ini.

Jika transisi energi di Indonesia penuh dengan korupsi, maka dampaknya bukan hanya transisi energi yang gagal, tapi juga alam yang semakin hancur karena kita kembali ke energi fosil.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com