KOMPAS.com - Tak lama lagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Terkait hal itu, Direktur Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) Willem Pattinasarany mengatakan, praktek ijon pada saat pemilu/pilkada masih banyak terjadi.
Praktek ijon menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi dan pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia.
Baca juga: Kisah Palet Hitam hingga Panel Surya, Jejak Bisnis Keberlanjutan FKS Group di Jawa Timur
“Laporan PPATK tentang adanya transaksi janggal dari sekitar 100 calon legislatif jelang Pemilu 2024 yang mencapai Rp 51,47 triliun menjadi bukti tak terbantahkan mengenai praktek kotor ini,” ujar Willem saat media briefing di Bogor, Kamis (11/7/2024).
Proses demokrasi ini, menurutnya, juga menjadi ajang pencucian uang dari kejahatan lingkungan dan kejahatan lainnya.
Pasalnya, jumlah sumber dana besar yang dibutuhkan membuat para kandidat kerap melakukan praktek ijon dan bersimbiosis dengan para pelaku bisnis di sektor hutan dan tambang, untuk memastikan bahwa pemimpin daerah terpilih nantinya dapat memberikan kembali dana-dana yang telah mereka keluarkan.
Sekaligus keuntungan-keuntungan melalui pemberian rekomendasi izin pengelolaan sumber daya alam, maupun proyek-proyek pembangunan di daerah.
“Praktek ijon dan simbiosis ini kerap diduga melahirkan kejahatan pencucian uang,” tambahnya, dalam pernyataan tertulis.
Data Litbang Kementerian Dalam Negeri menunjukkan besarnya dana untuk menjadi bupati atau walikota adalah rata-rata Rp 30 miliar, sedangkan biaya menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar.
Baca juga: Indonesia Olah Limbah, Komitmen Keberlanjutan Lingkungan
Kebutuhan dana untuk mendapatkan suara dari pemilih yang makin transaksional, membuat peluang mendapatkan kandidat berkualitas semakin kecil.
Malahan sebaliknya, Willem menilai, semakin besar kemungkinan korupsi dari calon terpilih yang ingin mengembalikan “modal” secepatnya.
Besarnya aliran dana dalam pilkada ini disinyalir akan berdampak kerusakan alam dan kerugian keuangan negara yang sangat besar.
Oleh karena itu, jelang pilkada serentak, Organisasi non-profit Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) bersama Forest Watch Indonesia (FWI), Komunitas Pemilu Bersih (KoPi Bersih), dan Lembaga Studi Visi Nusantara Maju (Vinus) mendorong gerakan “green democracy”.
Yakni sebuah gerakan untuk mendorong proses pemilihan kepala daerah bersih dari money politics, “lebih murah”, dan menghasilkan pemimpin yang memiliki visi dan misi pembangunan ekonomi hijau di daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga menyatakan, jelang Pemilukada, yang harus diwaspadai adalah obral izin baru yang tentunya hanya akan mendorong kerusakan sumber daya alam Indonesia.
Berdasarkan hasil riset dan investigasi yang telah dilakukan oleh FWI bersama jaringan CSO di daerah, ditemukan tiga jalur obral izin kawasan hutan Indonesia.
Pertama, pelepasan kawasan hutan; kedua, arahan pemanfaatan hutan; dan ketiga, aktivasi ex hak pengusahaan hutan (HPH).
Dari Pelepasan Kawasan Hutan, komoditas terbesar untuk pelepasan kawasan hutan di 2021, adalah perkebunan kelapa sawit dengan luasan sekitar 5,5 juta hektar. Sisanya yaitu untuk coklat dan tebu.
Baca juga: Konsorsium Keberlanjutan Pertama di Asia Dorong Kolaborasi ESG
Total pelepasan kawasan hutan di 2021 mencapai 5,9 juta hektar, dengan provinsi terbesar pelepasannya ada di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1,16 juta hektar dan Provinsi Riau 1,14 juta hektar.
FWI juga menemukan total luas arahan pemanfaatan hutan produksi 2021 untuk izin baru sebesar 13,5 juta hektar, dengan provinsi terbesar yaitu Provinsi Riau 1,8 juta hektar dan Provinsi Papua Selatan 1,16 juta hektar.
Dari Aktivasi Ex HPH yang bakal menjadi target penerbitan izin baru, dapat ditemukan di Regional Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua dengan total areal Ex HPH seluas 35,8 juta hektar.
“Obral izin di tengah masa transisi pemerintah daerah harus diwaspadai sebagai upaya penguasaan hutan dan lahan Indonesia yang dapat menghilangkan eksistensi masyarakat-masyarakat adat. Dan ke depan, izin-izin ini akan menjadi driver deforestasi,” tuturnya.
Perlu pengelolaan pilkada
Sementara itu, Koordinator Komunitas Pemilu Bersih Jeirry Sumampow menyebut pentingnya pemerintah, khususnya penyelenggara pemilu untuk menekan mahalnya biaya kampanye yang harus dikeluarkan oleh para kandidat.
“Negara harus mengambil-alih tanggung jawab ini,” ujar Jeirry.
Tujuannya, agar para kandidat tidak mencari sumber dana yang ilegal untuk mencukupi biaya gerakannya dalam Pilkada, sekaligus akan membuat para kandidat bertarung dalam ide-ide pragmatis pembangunan untuk memenangkan suara pemilih.
Baca juga: Berbagai Strategi Konsorsium AEPIC Bumikan Keberlanjutan di Asia
Penting untuk segera melakukan revisi UU Kepemiluan. Selain itu, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu harus berani membuat aturan dan memberikan punishment yang tegas kepada para kandidat yang melanggar.
“Tidak lagi menjadikan jabatan komisioner mereka sebagai ajang transaksional dengan para kandidat,” tambah Jeirry.
Senada, Ketua Lembaga Studi Visi Nusantara Maju Yusfitriadi menekankan pentingnya tata kelola kepemiluan yang transparan dan akuntabel.
“Indikasi praktek ijon yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu kepada kandidat dan gerbong pendukungnya juga menjadi ajang tidak netralnya proses pemilihan umum yang diadakan,” terang Jeirry.
Adanya like and dislike, serta ketidaknetralan dalam setiap pengambilan keputusan penyelenggara pemilu, menjadikan demokrasi cacat dan hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin korup yang akan merusak bangsa.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya