JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) berencana meningkatkan pembatasan terkait subyek dan obyek wadah atau kemasan produk, untuk mengurangi potensi sampah.
Kepala Seksi Pengurangan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta M Adib Awaludin mengatakan, yang saat ini sudah diatur adalah pembatasan penggunaan kresek.
Ke depannya, ada rencana menambah pembatasan penggunaan obyek seperti styrofoam dan sedotan plastik, sesuai Permen LHK No 75 Tahun 2019.
Baca juga: Upaya DLH Jakarta Terapkan Plastik Sekali Pakai dan Guna Ulang
"Yang sudah kami atur itu baru kresek. Ada potensi untuk mengatur styrofoam dan sedotan plastik, ini sejalan dengan peraturan KLHK bahwa pada 1 Januari 2030 yang namanya sedotan plastik dan styrofoam itu dilarang digunakan," ujar Adib dalam talkshow di sela Festival Ekonomi Sirkular 2024 di Taman Menteng, Jakarta, Kamis (18/7/2024).
Tak hanya obyek, subyek atau pelaku yang akan dikenakan pembatasan juga berpotensi ditambah, sesuai kewenangan Pemda DKI Jakarta.
Pembatasan penggunaan styrofoam dan sedotan plastik akan diberlakukan di hotel, restoran, kafe, dan tempat sejenis.
Dari yang sebelumnya hanya berlaku pada toko ritel, swalayan, pusat perbelanjaan, pasar, dan minimarket.
"Jadi obyeknya kita akan tambah. Dan subyeknya, rencananya akan ditambah juga. Kalau kemarin yang diatur baru retail, toko-toko swalayan, pusat perbelanjaan, pasar, supermarket, gitu kan," imbuhnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memberlakukan pembatasan kemasan saset dalam upaya mengurangi sampah, karena mempertimbangkan daya beli warga apabila kebijakan tersebut diterapkan.
"Kami juga pertimbangkan daya beli masyarakat. Bisa kita bayangkan, masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 100.000 per hari, diharuskan membeli sabun yang botol, harganya berapa," ujar dia.
Menurut Adib, alih-alih membeli produk dalam kemasan besar di dalam botol, masyarakat dari kalangan ekonomi rendah cenderung memilih kemasan kecil atau saset.
"Ini fakta juga yang harus kita jadikan pertimbangan. Tentu dia (konsumen) akan lebih memilih untuk membeli konsumsi sehari-hari (dalam bentuk saset) nanti," imbuhnya.
Baca juga: Hari Bebas Kantong Plastik Sedunia: Sejarah, Tujuan, dan Alternatifnya
Oleh karena itu, daya beli masyarakat akan menjadi salah satu bahan kajian dan diskusi dalam mencari solusi, apabila aturan pembatasan kemasan saset nantinya diberlakukan.
"Semua masukan, misal nanti keluar produk hukum atau regulasi yang dikeluarkan pemerintah, bisa implementatif, bisa menjadi solusi untuk semua," terang Adib.
Tak hanya itu, pemerintah akan menggelar diskusi-diskusi kelompok bersama para pelaku usaha terkait, sehingga diharapkan nantinya ada tanggapan atau masukan.
Sebab, semua regulasi pemerintah membutuhkan kajian dan diskusi, karena terkait adanya pihak yang setuju (pro) maupun tidak setuju (kontra). Semua pendapat tersebut akan menjadi acuan pembuatan regulasi.
"Gagasan-gagasan seperti itu sudah ada. Nanti ini akan jadi bahan diskusi. Misalkan untuk styrofoam untuk makan di tempat (dine in) seperti apa, untuk dibawa pulang (take away) seperti apa," kata Adib.
"Jadi bukan hanya larangan begini-begini loh, tetapi juga harus menawarkan solusi atau penggantinya seperti apa, tidak hanya melarang tanpa solusi," sambung dia.
Ia juga mengungkap sudah adanya beberapa aturan terkait pengelolaan sampah. Seperti Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2021 tentang Pengurangan dan Penanganan Sampah menyebutkan larangan penggunaan kemasan atau wadah sekali pakai.
"Kalau perlu regulasi, kami buatkan regulasi. Tetapi apakah regulasi itu solusi? Nanti kita bahas lagi, perdalam lagi, kaji lagi," pungkas Adib.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya