DUNIA kini semakin gencar membahas transisi menuju ekonomi hijau. Dari para pemimpin negara hingga kampanye publik, diskursus ini semakin marak.
Dibandingkan satu atau dua dekade lalu, intensitas dan kualitas perbincangan ini telah meningkat pesat, menunjukkan komitmen lebih besar terhadap keberlanjutan lingkungan.
Satu hal yang tak bisa diabaikan dalam transisi menuju ekonomi hijau adalah peran penting mineral kritis. Hampir semua program transisi energi bergantung pada ketersediaan mineral-mineral ini.
Namun, apa sebenarnya mineral kritis dan apa saja yang termasuk dalam kategori ini? Mereka disebut "kritis" karena sulit ditemukan, namun sangat dibutuhkan.
Tanpa mineral tersebut, maka berbagai teknologi tidak dapat berfungsi, seperti turbin angin, panel surya, dan lain-lain.
Sayangnya, tidak ada daftar pasti yang disepakati secara universal untuk mineral kritis.
Sebagai ilustrasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia telah menetapkan 47 jenis komoditas tambang sebagai mineral kritis.
Penetapan ini diresmikan melalui Keputusan Menteri ESDM No.296.K/MB.01/MEM.B/2023, yang mengklasifikasikan berbagai komoditas penting bagi ekonomi hijau.
Sementara itu, Amerika Serikat merilis daftar 50 mineral kritis pada 2022. Daftar ini diperbarui setiap tiga tahun, dengan acuan dari Badan Geologi AS.
Sebagai tambahan, Departemen Energi AS juga menerbitkan daftar tersendiri yang mencakup 18 jenis mineral kritis khusus untuk sektor energi.
Lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan Bank Dunia secara rutin menerbitkan publikasi mengenai mineral kritis.
Misalnya, IEA merilis "Global Critical Minerals Outlook" dan Bank Dunia mempersembahkan laporan berjudul "Minerals for Climate Action: The Mineral Intensity of the Clean Energy Transition".
Dalam publikasi-publikasi ini, berbagai jenis mineral kritis dibahas secara mendalam, menyoroti peran vital mereka dalam mendukung transisi energi bersih dan keberlanjutan global.
Pertanyaan selanjutnya, jenis mineral kritis apa yang paling berpengaruh terhadap transisi ekonomi hijau?
Pada Mei 2021, IEA merilis penelitian yang mengungkapkan kebutuhan mineral kritis pada berbagai jenis pembangkit listrik.
Penelitian tersebut membandingkan kebutuhan mineral kritis antara Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di lautan lepas (offshore wind), PLTB di daratan (onshore wind), panel surya (solar PV), nuklir, batubara (coal), dan gas alam (natural gas).
Dari berbagai jenis pembangkit listrik, PLTB lepas pantai membutuhkan jumlah mineral kritis paling banyak, yaitu lebih dari 15.000 kg mineral kritis untuk menghasilkan 1 Megawatt (MW) listrik.
Sementara itu, PLTB darat memerlukan lebih dari 10.000 kg mineral kritis per MW. Panel surya memerlukan hampir 7.000 kg mineral kritis per MW.
Sebagai perbandingan, pembangkit listrik berbahan bakar fosil memerlukan jauh lebih sedikit mineral kritis.
Pembangkit listrik tenaga batu bara hanya memerlukan sekitar 2.500 kg mineral kritis per MW, sedangkan pembangkit listrik tenaga gas alam hanya memerlukan sekitar 1.100 kg mineral kritis per MW.
Jenis mineral yang paling banyak diperlukan adalah tembaga (copper), seng (zinc), dan silikon (silicon). Tembaga dan seng sangat dibutuhkan dalam jumlah besar untuk PLTB, baik yang berada di leps pantai maupun di darat.
Menariknya, hampir 90 persen material yang digunakan untuk PLTB berasal dari dua mineral kritis ini, menyoroti betapa pentingnya peran tembaga dan seng dalam mendukung keberlanjutan teknologi energi angin.
Hampir 60 persen material untuk panel surya berasal dari silikon dan hampir 40 persen berasal dari tembaga. Sisanya sangat kecil sekali, yaitu 0,5 persen dari seng.
Jenis mineral kritis lain yang diperlukan adalah nikel (nickel), mangan (manganese), kromium (chromium), dan molybdenum (molybdenum).
Bank Dunia (2020) mengklasifikasikan mineral kritis ke dalam empat kategori utama, yang menggambarkan betapa pentingnya peran mereka dalam teknologi dan transisi ekonomi hijau.
Pertama, ada mineral berdampak tinggi dan lintas bidang aplikasi (high-impact and cross-cutting minerals). Contohnya adalah aluminium, yang digunakan dalam berbagai teknologi.
Permintaan terhadap aluminium diperkirakan akan meningkat secara signifikan karena perannya yang luas dalam berbagai teknologi.
Kedua, terdapat mineral berdampak tinggi (high-impact minerals) seperti kobalt, grafit, dan litium. Mineral-mineral ini sangat diperlukan untuk teknologi tertentu, terutama dalam bidang penyimpanan energi.
Ketiga, kategori mineral berdampak sedang (medium-impact minerals) mencakup unsur logam langka (Rare Earth Elements).
Meskipun penggunaannya tidak seumum mineral lainnya, mereka sangat penting untuk teknologi tertentu dan permintaannya diperkirakan akan meningkat moderat.
Terakhir, ada mineral lintas sektor (cross-cutting minerals) seperti tembaga dan nikel. Mineral-mineral ini digunakan dalam berbagai teknologi dan dianggap sebagai elemen fundamental dalam mendukung transisi ekonomi hijau.
Dengan potensi peningkatan kebutuhan mineral kritis untuk transisi menuju ekonomi hijau, siapa pun yang memiliki akses ke sumber daya ini akan menjadi sangat penting.
Sebagai contoh, Chili, Kongo, dan Peru adalah tiga negara penghasil tembaga terbesar di dunia, yang menyumbang hampir 45 persen produksi tembaga global.
Dalam hal pengolahan tembaga, Tiongkok, Chili, dan Jepang adalah tiga negara terbesar, yaitu hampir 60 persen.
Untuk nikel, Indonesia adalah produsen terbesar (49 persen), disusul Filipina (10 persen), dan Rusia (6 persen). Sedangkan untuk pengolahan nikel adalah Indonesia (43 persen), Tiongkok (17 persen), dan Rusia (5 persen).
Mineral kritis lainnya, seperti kobalt, litium, grafit, dan unsur logam langka, lebih terkonsentrasi di beberapa negara. Tiga negara terbesar penghasil masing-masing mineral ini berkontribusi lebih dari 70 persen terhadap produksi global.
Untuk industri pengolahan kobalt, litium, grafit, dan unsur logam langka, Tiongkok memiliki dominasi yang signifikan.
Tiongkok sangat bergantung pada impor bahan mentah dari berbagai negara, terutama dari Kongo untuk memenuhi kebutuhan industrinya.
Fakta di atas menunjukkan bagaimana rantai pasok mineral kritis secara global. Satu hal penting lain adalah bagaimana memastikan bahwa proses yang dilakukan semuanya bersih dan hijau.
Sebagai contoh, kita harus berhati-hati agar kebutuhan mendesak akan mineral kritis tidak menyebabkan penambangan berlebihan dan pembuangan limbah ke laut.
Kasus lain seperti di Kongo di mana terjadi pelibatan pekerja anak juga harus kita hindari. Jika hal-hal ini terjadi, maka transisi energi bersih sebenarnya dilakukan dengan cara yang tidak bersih.
Setidaknya, pada pertemuan Menteri bidang Minerals tingkat ASEAN pada November 2023 di Kamboja sudah mendeklarasikan tentang promosi ASEAN sebagai tujuan investasi pembangunan mineral berkelanjutan (sustainable minerals development).
Oleh karena itu, sangat penting memastikan bahwa semua proses untuk mendapatkan energi bersih juga "dilakukan dengan bersih."
Konsep penambangan mineral yang berkelanjutan harus menjadi prioritas. Ini bukan hanya sekadar wacana, tetapi harus benar-benar diimplementasikan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya