KOMPAS.com - Alih-alih mengurus tambang, Muhammadiyah diminta untuk ikut serta dalam bisnis energi terbarukan berbasis komunitas karena potensi keuntungannya yang lebih tinggi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira mengatakan, total keuntungan yang diterima pelaku usaha dari energi terbarukan berbasis komunitas bisa mencapai Rp 9.750 triliun.
Selain itu, mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas secara masif bisa menyerap 97 juta tenaga kerja.
Baca juga: Muhammadiyah Terima Izin Tambang, Bahlil: Ini Barang Bagus..
Contoh energi terbarukan tersebut seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga pembangkit lsitrik tenaga mikrohidro (PLTMh) sesuai potensi masing-maising.
"Ini (energi terbarukan berbasis komunitas) bisnis yang cuan-nya besar sebetulnya dibandingkan mengurus tambang batu bara. Ada dampak lingkungan dan kesehatan yang perlu dimasukkan (kalau mengurus tambang)," kaya Bhima dalam diskusi publik yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dipantau secara daring, Senin (29/7/2024).
Bhima menyampaikan, sekarang adalah saat yang tepat untuk terjun mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas karena surplusnya yang begitu besar.
Di samping itu, energi terbarukan bisa dikolaborasikan dengan berbagai fasilitas seperti rumah sakit, sekolah, atau pesantren yang telah dimiliki oleh organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Di sisi lain, menengok berbagai dampak buruk yang ditimbulkan oleh tambang, Bhima menuturkan tidak ada pembenaran bagi ormas keagamaan yang turut andil dalam industri ekstraktif ini.
Baca juga: Muhammadiyah Klaim Tak Kejar Untung dalam Bisnis Tambang, Jatam: Omong Kosong
Bhima menyampaikan, berdasarkan studi yang dilakukan Celios, desa di sekitar tambang memiliki fasilitas esensial yang jelek seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Selain itu, tambang juga memicu konflik di masyarakat, baik itu konflik horizontal ataupun vertikal.
Bhima menyampaikan, jika Muhammadiyah berkukuh menggarap konsesi tambang, ormas keagamaan tersebut dikhawatirkan hanya sekadar menjadi broker dan menerima royalti saja.
"Apalagi ini (lahan konsesi) bekas tambang, cadangannya berapa? Apalagi kalau ada konflik, ada kerugian kesehatan, Muhammadiyah harus menanggung," ucap Bhima.
Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan menerima tawaran izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Baca juga: Muhammadiyah dan Upaya Hukum dalam Izin Tambang
Hal ini diputuskan dalam rapat konsolidasi nasional PP Muhammadiyah pada Minggu (28/7/2024) di Yogyakarta.
"Setelah mencermati masukan, kajian, serta beberapa kali pembahasan, rapat pleno PP Muhammadiyah pada tanggal 13 Juli 2024 memutuskan menerima IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang ditawarkan oleh pemerintah," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti sebagaimana dilansir dari pemberitaan Kompas.com.
Muhammadiyah menilai, manusia diberikan wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan sebaik-baiknya kekayaan alam itu untuk kesejahteraan hidup material dan spiritual dengan tetap menjaga keseimbangan dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Izin tambang di ormas keagamaan ini bermula dari kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Yahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aturan itu mengizinkan ormas keagamaan mengelola lahan pertambangan. Secara spesifik, aturan itu tertuang dalam Pasal 83 A yang membahas soal Izin Usaha Pertambangan Khusus (WUIPK) secara prioritas.
Baca juga: NU dan Muhammadiyah yang Disatukan Izin Tambang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya