KOMPAS.com - Anggaran yang terbatas, tenaga kerja, dan kurangnya pemahaman adalah beberapa masalah yang menghalangi usaha kecil dan menengah (UMKM) untuk memulai pelaporan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Hal tersebut dikemukakan dalam acara Navigating ESG Reporting Complexity, Kamis (29/8/2024) yang lalu.
Ong Gin Keat, Direktur Keberlanjutan dan Pengembangan Bisnis di Envcares mengatakan meskipun ada banyak pembicaraan tentang pelaporan ESG, tidak banyak perusahaan yang memahami sepenuhnya maksud dari pelaporan tersebut.
Allinnettes Adigue, kepala Pusat Regional Asean dari Global Reporting Initiative (GRI), mencatat bahwa persyaratan pelaporan keberlanjutan di sebagian besar yurisdiksi terutama ditujukan pada perusahaan yang terdaftar.
Namun, dengan diperkenalkannya wajib pelaporan iklim, perusahaan besar akan segera diharuskan untuk mengungkapkan emisi Cakupan 3 ( Scope 3 emission) mereka.
Baca juga: Lazada Luncurkan Laporan ESG, Emisi GRK Turun 40 Persen
Seperti dikutip dari Business Times, Selasa (3/9/2024) emisi tersebut dapat mencapai hingga 70 persen dari jejak karbon perusahaan dan sebagian besar berasal dari sumber tidak langsung seperti rantai pasokan, sehingga kepatuhan ESG makin penting bagi UMKM.
Ini karena perusahaan besar akan memprioritaskan mitra yang selaras dengan standar keberlanjutan global. Dengan demikian UMKM pun harus beradaptasi agar tetap kompetitif dan mempertahankan hubungan bisnis.
Meskipun demikian, UMKM menghadapi tantangan yang signifikan, termasuk sumber daya dan keahlian yang terbatas, serta kompleksitas pengumpulan data.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, sangat penting untuk memberikan dukungan kepada UKM melalui pembiayaan, pengembangan kapasitas, dan peningkatan kesadaran untuk memfasilitasi transisi mereka ke ekonomi rendah karbon.
"Ini termasuk sistem terpercaya untuk metrik ESG dan pemahaman karyawan tentang manfaat pelaporan ESG," ungkap Ong.
Terlibat dalam pelaporan keberlanjutan sebenarnya memiliki manfaat nyata bagi UMKM.
Baca juga: Kadin Akui Banyak Pelaku Usaha Belum Mengerti ESG
"Ketika Anda melihat perusahaan besar yang memiliki rantai pasokan yang berbasis di Asia Tenggara, banyak dari mereka terdiri UKM. Karena ESG dan isu keberlanjutan menjadi topik hangat bagi perusahaan besar, mereka mulai menghargai metrik dan laporan ESG yang berasal dari UMKM," ungkap Hari Nair, CEO Zuno Carbon, platform manajemen ESG yang memungkinkan perusahaan melacak dan melaporkan emisi gas rumah kaca mereka.
Oleh karena itu, UMKM yang memulai pelaporan ESG pun dapat memperoleh keuntungan dalam memperoleh kontrak dari perusahaan multinasional.
Lebih lanjut, data yang dikumpulkan UMKM dan wawasan tentang operasi serta rantai pasokan juga dapat membantu mengidentifikasi penggunaan sumber daya atau proses berlebihan yang dapat dioptimalkan sehingga menghasilkan biaya operasional lebih rendah.
Ong menambahkan lagi untuk memastikan karyawan memahami pentingnya pelaporan ESG, perusahaan dapat mengirim mereka untuk mengikuti kursus yang relevan.
Baca juga: ESG dan Semakin Relevannya Stakeholder Capitalism
Namun, ia juga mengakui adanya kendala karena sumber daya yang minim.
"Beberapa UMKM memiliki karyawan kurang dari 50 orang. Dari mana mereka mendapatkan sumber daya untuk mengikuti kursus? Staf terkadang memiliki banyak peran," katanya.
Kendati demikian, Nair menyebut meski ada kendala dalam mengadopsi praktik pelaporan ESG, tetap ada baiknya untuk memulainya.
Ia pun memperkirakan bahwa UMKM akan menjadi lebih terbuka untuk mengadopsi praktik ESG karena perusahaan besar yang terdaftar semakin dituntut untuk melaporkannya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya