KOMPAS.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan, mayoritas dari 15 proyek penangkap dan penyimpan karbon atau carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture utilisation and storage (CCUS) yang direncanakan dapat beroperasi pada 2030.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian ESDM Prahoro Nurtjahyo dalam diskusi di Jakarta, Kamis (29/8/2024).
Prahoro berujar, teknologi CCS dan CCUS menjadi sangat relevan untuk didiskusikan dan diimplementasikan.
Baca juga: McKinsey Soroti Tantangan Penangkapan Karbon dan Pemanfaatan Hidrogen Bersih
Dia menuturkan, pengembangan CCS dan CCUS di Indonesia tak lepas dari potensi penyimpanan karbon yang besar.
Potensi penyimpanan CCS di Indonesia sebesar 577,62 gigaton yang terdiri atas depleted oil and gas sebesar 4,85 gigaton dan saline aquifer sebesar 572,77 gigaton.
"Sehingga menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi penyimpanan karbon terbesar di dunia" kata Prahoro, sebagaimana dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM.
Prahoro menjelaskan, CCS dan CCUS merupakan teknologi penangkapan emisi karbon dioksida dari proses industri dan pembangkit listrik, sehingga tidak terlepas ke atmosfer.
Baca juga: PLN Mulai Operasikan PLTGU Tambak Lorok yang Rendah Emisi Karbon
Meski memiliki nama yang mirip dan prinsipnya hampir sama, ada sedikit perbedaan dari CCS dan CCUS.
Dalam CCS, karbon dioksida yang tertangkap kemudian dipindahkan dan disimpan di bawah permukaan.
Sedangkan dalam CCUS, karbon dioksida yang tertangkap dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.
Baca juga: RI Punya PLTS Daratan Terbesar, Mampu Kurangi 118.725 Ton Karbon Dioksida
Dia menuturkan, teknologi CCS dan CCUS memungkinkan penggunaan bahan bakar fosil dengan emisi yang lebih rendah, sehingga dapat mendukung transisi rendah karbon tanpa mengorbankan keamanan energi.
Di sisi lain, Prahoro turut menyampaikan implementasi teknologi CCS dan CCUS di Indonesia menghadapi tantangan.
"Antara lain perlunya investasi yang signifikan, regulasi yang mendukung pengembangan dan penerapan teknologi ini, serta adanya adopsi teknologi canggih tersebut memerlukan penyesuaian SDM (sumber daya manusia) dan peralatan eksisting," papar Prahoro.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya