KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Energi Berkeadilan menginginkan pemerintah mematok target bauran energi terbarukan yang lebih ambisius.
Koalisi tersebut terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil yakni Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Koaksi Indonesia, Trend Asia, dan TransisiEnergiBerkeadilan.id
Mereka menginginkan pemerintah memasang target yang progresif dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN).
Baca juga: China Investasi Rp 10 Kuadriliun untuk Transisi Energi, 38 Persen dari Total Dunia
Koalisi Transisi Energi Berkeadilan mendesak pemerintah memasang target energi terbarukan menjadi 60 persen pada 2030 dan menghentikan penggunaan energi fosil.
Juru Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga mengatakan, target yang dipatok dalam RPP tersebut tidak boleh memasukkan jenis energi berbasis lahan yang menyebabkan pembabatan hutan seperti biomassa.
Menurut dia, pemenuhan biomassa kayu selama ini dilakukan melalui pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) dengan menebang pohon di sejumlah provinsi.
FWI memproyeksikan, hutan alam seluas 4,65 juta hektare terancam proyek pembangunan HTE dan dari implementasi co-firing biomassa di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Baca juga: Komitmen Pertamina di Afrika, Integrasi Ekspansi Global dan Transisi Energi
Selain itu, Plt Direktur Program ICEL Bella Nathania menyampaikan, pentingnya meninjau kembali prioritas nuklir sebagai tumpuan energi dalam RPP KEN.
"Terlebih, Indonesia belum memiliki kesiapan infrastruktur khususnya untuk pengelolaan limbah nuklir. Dengan kondisi geografis Indonesia, PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) di Pulau Bangka akan berdampak hingga ke Sumatera Utara," kata Bella sebagaimana dilansir Antara, Selasa (3/9/2024).
Sementara itu, Plt Direktur Program Koaksi Indonesia Indra Sari Wardhani menyampaikan pembaruan KEN mesti menghapus pemanfaatan energi fosil yang terselubung dalam terminologi energi baru.
Conothnya seperti batu bara tercairkan (liquified coal), batu bara tergaskan (gasified coal), gas metana batu bara (coal bed methane), serta tidak menjadikan transisi sebagai ruang ekspansi gas.
Baca juga: 9 Tahun Usai Perjanjian Paris, Transisi Energi Terganjal Kesenjangan Teknologi
Menurut dia, RPP KEN juga tidak mendorong penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpan karbon atau CCS/CCUS sebagai jalan pintas yang memiliki risiko finansial dan potensi kegagalan tinggi.
Di sisi lain, perwakilan TransisiEnergiBerkeadilan.id Mahawira Singh Dillon menyampaikan, transisi ke energi terbarukan akan mencetak jauh lebih banyak lapangan pekerjaan.
Hal ini penting agar bonus demografi yang sedang dialami Indonesia tidak berubah menjadi bom waktu bencana demografi.
Dia berujar, opsi pembangkitan energi terbarukan terbukti menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan daripada energi fosil.
"Seperti ditunjukkan dalam laporan tahunan US Energy Employment and Employment Jobs Report oleh Departemen Energi Amerika Serikat, sekalipun bauran energi fosil masih lebih besar," kata Wira.
Baca juga: Seperempat Energi yang Dikonsumsi China Berasal dari Sumber Bersih
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya