KOMPAS.com - Sembilan tahun sejak Perjanjian Paris ditandatangani pada 2015, dunia masih kesulitan bertransisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
Padahal, transisi energi menjadi upaya penting dalam mengurnagi emisi gas rumah kaca (GRK) guna melawan perubahan iklim dan mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
Salah satu kendala dalam merealisasikan transisi energi secara menyeluruh dan meninggalkan ketergantungan dari energi fosil adalah kesenjangan teknologi.
Baca juga: Tantangan Energi Terbarukan di Perikanan, Kurangnya Pemahaman Nelayan
Hal tersebut mengemuka dalam laporan terbaru McKinsey & Company berjudul The energy transition: Where are we, really? yang dirilis 27 Agustus 2024.
Laporan ini menyebutkan, kesenjangan antara apa yang dibutuhkan dan apa yang telah dicapai dalam penerapan teknologi rendah emisi masih sangat besar.
Sejauh ini, penerapan teknologi rendah emisi secara global baru mencapai 10 persen dari yang diperlukan untuk mencapai net zero emission pada 2050.
Untuk menutup kesenjangan tersebut, diperlukan pembangunan sistem energi baru yang berkinerja tinggi agar sesuai atau melampaui sistem yang ada saat ini.
"Hal tersebut memerlukan pengembangan dan penerapan teknologi rendah emisi baru, beserta rantai pasokan dan infrastruktur yang sama sekali baru untuk mendukungnya," tulis laporan tersebut.
Baca juga: Sambut Jutaan Lapangan Kerja Era Transisi Energi, SDM Perlu Disiapkan
Sejumlah tantangan fisik perlu diatasi untuk mengubah sistem energi. Selain itu, hal tersebut memerlukan tindakan bersama untuk mengatasinya.
Laporan McKinsey lain berjudul The Hard Stuff: Navigating the physical reality of the energy transition telah mengidentifikasi 25 tantangan fisik di tujuh domain sistem energi yang perlu ditangani agar transisi energi berhasil.
Mengatasi tantangan fisik juga perlu melibatkan peningkatan kinerja teknologi rendah emisi dan mengatasi saling ketergantungan antara berbagai tantangan.
Laporan tersebut juga mendorong teknologi yang belum memiliki rekam jejak yang kuat.
"Dan untuk mengatasi tantangan fisik ini, investasi perusahaan yang signifikan dalam teknologi rendah emisi perlu dibuka," tambah laporan tersebut.
Baca juga: Tagihan Energi Inggris Melonjak, Risiko Kemiskinan Warga Meningkat
Penerjemahan target iklim yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan perusahaan dalam aksinya kini bergantung pada percepatan penerapan dan adopsi beberapa teknologi yang saling terkait.
Contoh-contoh teknologi tersebut mencakup energi terbarukan, teknologi elektrifikasi seperti kendaraan listrik, dan pompa panas.
Laporan tersebut juga menyoroti teknologi yang relatif kurang matang seperti penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS), hidrogen hijau, hidrogen dan biru, dan bahan bakar berkelanjutan.
Teknologi-teknologi tersebu dianggap menjadi upaya untuk mengurangi emisi GRK dalam semua skenario energi McKinsey.
Baca juga: Pembangkit Energi Angin dalam Tahap Pengembangan di Kota Ambon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya