KOMPAS.com - Peneliti Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rospita Odorlina P Situmorang mengatakan, suatu kota memerlukan ruang terbuka hijau (RTH).
Menurutnya, setidaknya ada tiga alasan mengapa suatu kota mutlak membutuhkan RTH. Pertama, beban kota semakin meningkat dengan pertumbuhan penduduknya akibat urbanisasi.
Kedua, kualitas lingkungan perkotaan semakin rendah sehingga mengalami banjir dan polusi udara. Kebisingan juga kerawanan sosial mengakibatkan menurunnya produktivitas masyarakat perkotaan.
Baca juga: Peruri Sulap Bekas Pabrik Jadi Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Selatan
Ketiga, menurunnya ruang terbuka publik karena kuantitas dan kualitas ruang publik serta kehadiran RTH perkotaan yang makin rendah.
Hal tersebut disampaikan Rospita dalam webinar yang diselenggarakan Kelompok Riset Penduduk dan Pengelolaan Sumberdaya Alam PRK BRIN, Kamis (26/9/2024).
Dia memaparkan, berdasarkan ketiga alasan tersebut, RTH harus ada di sebuah kota. Realisasinya pun perlu mengikuti perencanaan dan implementasinya.
“Kami menyarankan untuk mengalokasikan fungsi kawasan lindung dan melakukan perlindungan terhadap kawasan tersebut,” ujar Rospita dikutip dari situs web BRIN.
Dia memaparkan, ada beberapa cara untuk merealisasikan RTH menurut perencanaan dan implementasinya.
Baca juga: Kota di Asia Kekurangan Ruang Terbuka Hijau
Hal tersebut mencakup pemanfaatan jalur pada jaringan jalan dan utilitas sebagai sarana penyediaan jalur hijau, melakukan pengaturan kepadatan bangunan, serta pemanfaatan berbagai lahan kosong dan bekas kawasan terbangun milik publik.
Selain itu, diperlukan sosialisasi dan pendampingan masyarakat untuk mengisi ruang kosong dengan penanaman vegetasi dan kerja sama dengan swasta.
Di samping itu, perlu penyediaan berbagai variasi rekreasi pada RTH serta penyediaan RTH di ranah privat seperti perumahan, perkantoran, hotel, dan lain-lain.
“Untuk memenuhi standar RTH kota, masyarakat dapat ikut berperan. Peran pemerintah tentunya yang mengatur, menerapkan kebijakan, mengevaluasi, atau monitoring. Masyarakat dalam hal ini bisa swasta, kelompok masyarakat, ataupun warga kota dapat menyediakan lahan, melakukan pembangunan, dan pemeliharaan RTH,” ungkap Rospita.
Menurutnya, peran individu bisa menjadi tenaga ahli, sedangkan peran swasta yang akan membangun lokasi usaha dengan area yang luas.
Baca juga: Jakarta Kota Tinggi Polusi, RK-Suswono Janji Bakal Perbanyak Ruang Terbuka Hijau
Kolaborasi tersebut juga perlu menyertakan konsep pembangunan RTH dan bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat dalam membangun dan memelihara.
Di sisi lain, peneliti independen Karunia Haganta menguraikan, kehadiran RTH juga merupakan alternatif pereda stres.
“Saya menyebutnya sebagai penyangga, sebenarnya saya tidak melihat ini sebagai suatu solusi. Karena solusinya memang harus menyentuh struktur, misalnya pemberian jaminan sosial dan lain-lain,” tegasnya.
Karunia menambahkan, RTH juga harus berfungsi secara penuh. Salah satu indikatornya adalah dapat dijangkau tidak hanya oleh transportasi umum, namun juga pejalan kaki.
“RTH harus didesain murah dan mudah diakses, penyediaannya juga seharusnya gratis,” ucap Karunia.
Baca juga: Lokasi Banjir Bandang Ternate Akan Dijadikan Ruang Terbuka Hijau
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya