KOMPAS.com - Lembaga riset internasional Zero Carbon Analytics menemukan sebagian besar proyek yang disepakati Indonesia dan Jepang melalui inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) berpotensi memperpanjang pemanfaatan energi fosil dan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.
Sementara Jepang sendiri menyatakan AZEC merupakan platform untuk mempromosikan jalur menuju netral karbon bagi berbagai negara di kawasan Asia Pasifik.
Laporan berjudul “Zero emissions or fossil fuel? Tracking Japan's AZEC projects” ini mencatat sejak AZEC diluncurkan pada Maret 2023, total telah ada 158 nota kesepahaman yang ditandatangani Jepang dengan berbagai negara di Asia.
Baca juga: Biomassa Jadi Jembatan Penting Menuju Percepatan Transisi Energi
Indonesia merupakan negara dengan terbanyak yang meneken MoU (43 persen) dalam inisiatif ini dengan total 68 MoU.
Akan tetapi menurut Zero Carbon Analytics sebanyak 27 MoU dari total kesepakatan masih berkaitan dengan bahan bakar fosil, yang mencakup proyek gas, gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), co-firing amonia, hidrogen, dan teknologi penangkapan dan pemanfaatan kembali emisi karbon (CCS/CCUS).
Baca juga: Dianggap Berhasil Tangani Emisi dan Iklim, RI Raih Penghargaan Green Eurasia 2024
Sedangkan MoU yang fokus pada teknologi energi terbarukan dan elektrifikasi hanya 15 MoU, sisanya 9 MoU terkait biomassa, 2 MoU tentang pasar karbon, dan 15 MoU lainnya.
“Kesepakatan AZEC menimbulkan kekhawatiran terkait biaya dan dampaknya pada iklim," ungkap Amy Kong, Peneliti Zero Carbon Analytics dalam keterangan resminya.
Teknologi berbasis fosil, seperti co-firing amonia, CCS, hidrogen abu-abu dan biru, dan LNG, memiliki emisi yang lebih tinggi dibandingkan angin dan surya.
Mengandalkan teknologi tersebut menurut peneliti justru memperlambat dan menambah biaya untuk dekarbonisasi Asia, serta berisiko menggagalkan target emisi sektor kelistrikan negara-negara yang ditetapkan dalam skenario netral karbon IEA (International Energy Agency)
"Saat ini AZEC membutuhkan lebih banyak rencana pengembangan energi terbarukan dan jaringan listrik," papar Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute.
"Fokus berlebihan pada jalur transisi yang belum terbukti dan berbiaya tinggi dapat membahayakan transisi energi, lantaran berujung pada teknologi-teknologi yang justru memperpanjang pemanfaatan bahan bakar fosil sementara energi terbarukan kurang dikembangkan,” tambah Putri.
Baca juga: Bank Pembangunan Asia Harap Pemerintahan Prabowo Lanjutkan Kerja Sama Transisi Energi
Laporan Zero Carbon Analytics mengungkapkan pula mengapa teknologi berbasis fosil bisa meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.
Didorongnya LNG sebagai energi transisi akan meningkatkan emisi metana, yang berasal dari kebocoran berbagai infrastruktur gas.
Metana membuat pemanasan global 80 kali lebih parah dibanding emisi karbon dalam 20 tahun setelah dilepaskan ke atmosfer. Selain itu, produksi, pengangkutan, pencairan, dan regasifikasi kembali LNG menghasilkan emisi karbon sama besarnya dengan ketika gas dibakar.
Kemudian, teknologi CCS/CCUS yang lebih banyak digunakan dalam operasi minyak dan gas bumi untuk menaikkan produksinya memungkinkan pembakaran bahan bakar fosil terus berlanjut yang dapat menghabiskan 30 persen sisa anggaran karbon global.
“Langkah Jepang melalui kesepakatan AZEC yang mendorong negara-negara berkembang untuk mengimpor teknologi yang lebih mahal dan problematik seperti CCS, akan menaikkan beban utang yang berdampak pada ruang fiskal negara berkembang dan kinerja keuangan BUMN,” ungkap Bhima Yudhistira, Direktur Center for Economic and Law Studies (CELIOS).
Baca juga: BI Luncurkan Kalkulator Hijau, Perusahaan Bisa Langsung Hitung Emisi
Selanjutnya, co-firing amonia di pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti gas dan batu bara juga problematik.
Co-firing amonia dengan rasio di bawah 50 persen akan hasilkan emisi karbon lebih besar daripada pembangkit listrik berbahan bakar gas.
Di sisi lain, co-firing amonia dengan rasio 20 persen saja, akan menaikkan modal belanja pembangkit listrik hingga 11 persen. Semakin besar rasio amonia, semakin besar pula kenaikan biayanya.
Sedangkan biomassa sebagai energi terbarukan akan hasilkan karbon 30 persen lebih banyak daripada batu bara.
Tak hanya itu, dibutuhkan 44-104 tahun atau bahkan lebih, bagi pohon baru untuk menyerap emisi yang dilepas ketika ada penebangan pohon, mendorong deforestasi masif di Indonesia.
Baca juga: Kementerian ESDM Akui Regulasi Transisi Energi Masih Belum Lengkap
“Inisiatif AZEC menjadi ancaman bagi masa depan transisi energi berkeadilan di Indonesia dan seluruh Asia. AZEC tidak hanya memperpanjang ketergantungan kita pada energi kotor, tetapi juga membahayakan kehidupan masyarakat yang berada di garis depan krisis iklim, menghambat transisi ke energi bersih, dan memenjara kita ke masa depan yang intensif karbon," pungkas Hikmat Soeriatanuwijaya, Senior Partnership and Outreach Office Oil Change International.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya